Rabu, 29 Mei 2013

Ekspedisi Berat Kota Bunga


Cikarang-Jonggol-Sukamakmur-Kota Bunga-Cianjur-Cariu-Cikarang. Itulah tempat-tempat ekspedisi alias penjelajahan kami kali ini. Sedikit raut kekecewaan  membayang saat terbangun di pagi hari Sabtu 25 May 2013 saat mendengar bunyi rintik-rintik hujan di atas genting. Melihat ke atas, awan menggelayut menimbulkan sedikit pesimisme apakah semangat juang rekan-rekan Mentari69 yg lain untuk melibas ekspedisi kali ini akan tetap terjaga dengan kondisi cuaca seperti ini atau sebaliknya. Namun membaca pesan whatsapps dari Om wawan “ayok ah berangkat, masak kalah sama hujan” membuyarkan semua rasa pesimisme tadi. Serempak saya dan Om Agung  tidak mau kalah menimpali, “ayok” menambah semangat satu sama lain. Segera kami bertiga kumpul di titik kumpul seperti biasanya. Setelah check perlengkapan sesaat, tepat jam 05.45 meluncurlah “pejuang Mentari69” demikian kami menyebutnya, di bawah rintik hujan menyusuri jalanan Cikarang Baru. Tujuan pertama adalah Cibarusah, melewati desa Cibatu dengan sebagian besar jalanan masih dicor, lanjut kea rah Lippo Cikarang. Dari sini kami memasuki tanjakan arah Desa Cicau yg sudah sangat sering kami lewati, sebelum memasuki jalan belakang Cibarusah, hingga tiba di pertigaan Jalan Raya Cibarusah. Sampai di sini, perjalanan baru di tahap awal dengan waktu satu jam saja, jarak tempuh sekitar 21KM, cukup cepat dengan stamina yg masih bugar. Sempat minum-minum teh sebentar, perjalanan kami lanjutkan menuju Jonggol. Memasuki daerah Jonggol, mulai terlihat pemandangan pedesaan yg asri membentang, dengan sawah menghijau di kiri kanan jalan. Hal ini menambah keceriaan suasana gowes kali ini.
Pemandangan sekita Jonggol
 
 
 
 
 
 
 
 
Daerah Jonggol sudah mulai menghadirkan tanjakan ringan tapi panjang yg mulai menghangatkan suhu dengkul kami meskipun belum sampai kategori panas. Saat lewat daerah Jonggol dan memasuki wilayah Sukamakmur, tanjakan semakin tajam diakhiri tanjakan berat di pertigaan Sukamakmur yg membuat suhu dengkul masuk kategori panas. Di sinilah awal waktu tunggu mulai molor dengan tercecernya Om Wawan cukup jauh di belakang. Saat mampir di warung pertigaan Sukamakmur, lihat di Whatsapps rupanya Om Wawan sudah minggir duluan di warung ayam kampung, mulai tidak tahan dengan sadisnya tanjakan, padahal tanjakan belum masuk kategori super berat alias “tanjakan jahanam”.  Menunggu cukup lama, akhirnya muncul juga Om Wawan sambil senyum-senyum menahan panas di dengkul.
 
 
 
 
 
 
 
 
Berhubung target di puncak curug Ciherang sebelum jam 12.00 siang sebagai pembuktian Om Agung kepada teman-teman gowesnya di LG yg meragukan target ini, harus tercapai, segera saja kami lanjutkan ekspedisi kami. Di sinilah awal dari siksaan yg sebenarnya dimulai. Diawali dengan turunan curam sesaat, tidak berapa lama langsung disambut dengan tanjakan nan panjang. Di dunia pergowesan Jabodetabek, tanjakan Ciherang ini terkenal dengan sebutan  7Seven mengacu pada kenaikan ketinggian permukaan tanah dari sekitar 400mdpl naik dalam jarak 7KM ke 1100mdpl alias 700m. Bisa dibayangkan curamnya tanjakan ini, dari hawa udara cukup panas, tidak berapa lama sudah disambut kabut dingin di ketinggian. Untuk daerah Jabodetabek, ini adalah tanjakan paling tajam alias paling miring serta paling ganas dan sadis.
Gowes kabut menuju Ciherang
Buat saya dan Om Agung, ini kali kedua melewati tanjakan ini. Jadi kami sudah bisa perhitungkan bagaimana beratnya medan yg harus dilalui. Dengan menjaga kecepatan disprocket yg paling ringan perlahan putaran demi putaran roda melahap medan menuju hutan pinus. Menoleh ke belakang, Om Wawan sudah tidak kelihatan bayangannya, kata Om Agung, Om Wawan ini spesialis tanjakan, tiap ada tanjakan langsung menghilang (di belakang tapinya J, sorry ya Om wawan). Satu hal yg membuat kami begitu semangat melahap tanjakan ini adalah kabut tebal yg sudah menyergap dari awal tanjakan. Pemandangan sangat eksotis, menggowes dalam lautan kabut. Jarak pandang yang hanya beberapa meter memaksa kami untuk menyalakan lampu sepeda (warning lamp). Om Agung yg membawa jaket langsung mengenakannya, saya hanya bisa melihat karena tidak sempat bawa dari rumah. Ini pengalaman pertama kali menggowes sepeda dalam kabut tebal yg membuat kami tidak tahan untuk bernarsis ria tiap melewati satu tanjakan. Karena ini hari Sabtu, banyak motor yg touring beriringan dengan suara menderu-deru hampir tidak sanggup melewati tanjakan. Mereka hanya memandang ke arah kami saat kita terengah-engah memutar pedal entah kagum atau sekedar heran (iseng banget jauh-jauh sepedaanJ ). Jalan semakin miring ke atas, diakhiri tanjakan “sadis nan jahanam” dengan tembok batako di kiri jalan, kami biasa menyebutnya tembok ratapan. Disebut demikian karena biasanya banyak penggowes yg tertunduk lunglai sesampainya di tembok ini, meratapi nasib dihajar tanjakanJ. Panas di dengkul dan paru semakin naik menuju batasnya seakan berlomba, entah mana yg lebih panas. Kami tidak sempat memikirkannya tentunya. Sampai di atas, kami langsung menyeruput teh hangat dengan gula aren yg maknyuss nikmatnya, dibanding teh biasa.
                                                        menaklukkan tanjakan ciherang
Menunggu cukup lama Om wawan belum juga muncul, kami putuskan melanjutkan perjalanan menuju warung di Hutan Pinus, disebut Catang Malang. Dari Ciherang ke warung ini, tanjakan tidak kalah ganasnya, bahkan jauh terasa lebih berat akibat stamina yg semakin menurun. Ketinggian masih bertambah menuju 1200mdpl, beruntung kami disuguhi  pemandangan hutan pinus yg sungguh indah dan mempesona, sedikit mengurangi panas di dengkul . Di sini kami mulai berpikir bagaimana nasib Om wawan, berapa lama harus menunggu. Akhirnya Om wawan muncul juga dengan caranya sendiri, sambil senyum-senyum , keputusan yg sangat bijaksana kata Om agung.
Suasana di puncak Ciherang
suasan hutan pinus
Tidak lama beristirahat, segera kami geber pedal sepeda menuju Kota Bunga. Rasanya pedal terasa lebih berat dari biasanya, entah rantai yg mengering kehilangan pelumas ataukah stamina yg semakin berkurang. Beruntung sepanjang jalan menuju Kota Bunga kebanyakan turunan dengan disuguhi pemandangan kebun teh yg sedap dipandang memaksa kami narsis sesekali. Waktu tempuh cukup cepat untuk sampai ke Kota Bunga dengan banyaknya turunan panjang. Terlihat wajah Om Wawan sumringah dengan bonus turunan nan panjang. Segera saja kami sampai di Kota Bunga berlanjut ke Taman Bunga Nusantara. Jelas tak mungkin kami lewatkan tanpa bernarsis ria di tempat ini karena inilah tujuan utama ekspedisi kali ini, suatu bukti yg sahih ke rekan-rekan Mentari69 yg lain bahwa kita sudah membentangkan bendera Mentari dengan bangganya di siniJ. Berhubung perut keroncongan sejak tadi siang, kami putuskan makan dulu sampai jam 15.00.
menaklukkan tanjakan terakhir ciherang
warung catang malang
Tanpa banyak membuang waktu, kembali kami meluncur ke arah Cikalong, salah satu kesalahan kami mengambil jalan, sehingga harus memutar ke arah waduk Cirata, setidaknya 20KM lebih jauh dibanding apabila arah langsung ke arah Cariu. Turunan panjang dengan pemandangan indah terhampar sepanjang jalan Cikalong. Saking panjangnya membuat kita terlena dan merasa tidak berapa lama lagi akan sampai Cibarusah. Di sinilah letak kesalahan kami berikutnya , terlena dengan turunan panjang hingga terkaget-kaget dan sempat menyiutkan nyali saat berhadapan dengan tanjakan yg tidak kalah kejam dan panjangnya dari Cikalong ke arah Cariu. Kondisi sudah gelap dengan hanya mengandalkan lampu Om Agung (saya sendiri hanya bawa lampu belakang, Om wawan malah tanpa lampu sama sekali). Kombinasi gelap, truk-truk besar yg lewat, serta tanjakan seakan sangat menyiksa. Masih beruntung langit cerah ceria dihiasi bulan Purnama sedikit menghibur kami. Tapi buat kami ini semua sebuah pengalaman unik tersendiri yg mungkin tidak kami dapatkan lagi. Satu lagi rintangan yg dialami dengan bocornya ban belakang sepeda saya, segera saja kami minggi ke salah satu warung di pinggir jalan. Beruntung kami selalu bawa ban cadangan, dengan dibantu Om wawan cara nambal ban, kurang dari 15 menit ban yg bocor sudah bisa diatasi. Dengan tertatih-tatih dan beriringan selalu, diselingi mampir ke warung beberapa kali, tiba juga akhirnya kami di Cibarusah sekitar jam 22.15 dengan perasaan seolah sudah sampai rumah setelah apa yg kami lalui sebelumnya. Untuk alasan keselamatan, kami putuskan lewat jalan raya Cibarusah Cikarang hingga akhirnya dengan sisa-sisa tenaga yg ada sampai di rumah sekitar jam 23.15. Sedikit cemberut membayang di wajah istri, mungkin karena ini juga saya mengalami sial bocor ban di jalan. Satu hal yg diyakini para goweser bahwa restu istri atau biasa kami menyebut “RRI” (ridho restu istri)  itu sangat penting demi kelancaran selama menggowes dan banyak yg membuktikan kebenarannya, hingga kadang SIM (surat ijin menggowes) itu begitu penting dan takut dilanggar para goweser. Demikian sekelumit kisah ekspedisi kami ke Kota bunga, sampai ketemu di cerita petualangan gowes selanjutnya.
                                                                       pemandangan kebun teh

sesampainya di kota bunga
 
                                
peta perjalanan kami
 

1 komentar:

  1. Sory om baru balas,jalannya banyak yg rusak meskipun msh bisa dilewati mobil, hati hati kalo hujan dg tanah longsor, thanks

    BalasHapus