Cikarang-Jonggol-Sukamakmur-Kota Bunga-Cianjur-Cariu-Cikarang.
Itulah tempat-tempat ekspedisi alias penjelajahan kami kali ini. Sedikit raut
kekecewaan membayang saat terbangun di
pagi hari Sabtu 25 May 2013 saat mendengar bunyi rintik-rintik hujan di atas
genting. Melihat ke atas, awan menggelayut menimbulkan sedikit pesimisme apakah
semangat juang rekan-rekan Mentari69 yg lain untuk melibas ekspedisi kali ini
akan tetap terjaga dengan kondisi cuaca seperti ini atau sebaliknya. Namun
membaca pesan whatsapps dari Om wawan “ayok ah berangkat, masak kalah sama
hujan” membuyarkan semua rasa pesimisme tadi. Serempak saya dan Om Agung tidak mau kalah menimpali, “ayok” menambah
semangat satu sama lain. Segera kami bertiga kumpul di titik kumpul seperti
biasanya. Setelah check perlengkapan sesaat, tepat jam 05.45 meluncurlah
“pejuang Mentari69” demikian kami menyebutnya, di bawah rintik hujan menyusuri
jalanan Cikarang Baru. Tujuan pertama adalah Cibarusah, melewati desa Cibatu
dengan sebagian besar jalanan masih dicor, lanjut kea rah Lippo Cikarang. Dari
sini kami memasuki tanjakan arah Desa Cicau yg sudah sangat sering kami lewati,
sebelum memasuki jalan belakang Cibarusah, hingga tiba di pertigaan Jalan Raya
Cibarusah. Sampai di sini, perjalanan baru di tahap awal dengan waktu satu jam
saja, jarak tempuh sekitar 21KM, cukup cepat dengan stamina yg masih bugar.
Sempat minum-minum teh sebentar, perjalanan kami lanjutkan menuju Jonggol.
Memasuki daerah Jonggol, mulai terlihat pemandangan pedesaan yg asri
membentang, dengan sawah menghijau di kiri kanan jalan. Hal ini menambah
keceriaan suasana gowes kali ini.
![]() |
| Pemandangan sekita Jonggol |
Daerah Jonggol sudah mulai menghadirkan
tanjakan ringan tapi panjang yg mulai menghangatkan suhu dengkul kami meskipun
belum sampai kategori panas. Saat lewat daerah Jonggol dan memasuki wilayah
Sukamakmur, tanjakan semakin tajam diakhiri tanjakan berat di pertigaan
Sukamakmur yg membuat suhu dengkul masuk kategori panas. Di sinilah awal waktu
tunggu mulai molor dengan tercecernya Om Wawan cukup jauh di belakang. Saat
mampir di warung pertigaan Sukamakmur, lihat di Whatsapps rupanya Om Wawan
sudah minggir duluan di warung ayam kampung, mulai tidak tahan dengan sadisnya
tanjakan, padahal tanjakan belum masuk kategori super berat alias “tanjakan
jahanam”. Menunggu cukup lama, akhirnya
muncul juga Om Wawan sambil senyum-senyum menahan panas di dengkul.
Berhubung
target di puncak curug Ciherang sebelum jam 12.00 siang sebagai pembuktian Om
Agung kepada teman-teman gowesnya di LG yg meragukan target ini, harus tercapai,
segera saja kami lanjutkan ekspedisi kami. Di sinilah awal dari siksaan yg
sebenarnya dimulai. Diawali dengan turunan curam sesaat, tidak berapa lama
langsung disambut dengan tanjakan nan panjang. Di dunia pergowesan Jabodetabek,
tanjakan Ciherang ini terkenal dengan sebutan
7Seven mengacu pada kenaikan ketinggian permukaan tanah dari sekitar
400mdpl naik dalam jarak 7KM ke 1100mdpl alias 700m. Bisa dibayangkan curamnya
tanjakan ini, dari hawa udara cukup panas, tidak berapa lama sudah disambut
kabut dingin di ketinggian. Untuk daerah Jabodetabek, ini adalah tanjakan
paling tajam alias paling miring serta paling ganas dan sadis.
![]() |
| Gowes kabut menuju Ciherang |
Buat saya dan Om
Agung, ini kali kedua melewati tanjakan ini. Jadi kami sudah bisa perhitungkan
bagaimana beratnya medan yg harus dilalui. Dengan menjaga kecepatan disprocket
yg paling ringan perlahan putaran demi putaran roda melahap medan menuju hutan
pinus. Menoleh ke belakang, Om Wawan sudah tidak kelihatan bayangannya, kata Om
Agung, Om Wawan ini spesialis tanjakan, tiap ada tanjakan langsung menghilang
(di belakang tapinya J,
sorry ya Om wawan). Satu hal yg membuat kami begitu semangat melahap tanjakan
ini adalah kabut tebal yg sudah menyergap dari awal tanjakan. Pemandangan
sangat eksotis, menggowes dalam lautan kabut. Jarak pandang yang hanya beberapa
meter memaksa kami untuk menyalakan lampu sepeda (warning lamp). Om Agung yg
membawa jaket langsung mengenakannya, saya hanya bisa melihat karena tidak
sempat bawa dari rumah. Ini pengalaman pertama kali menggowes sepeda dalam kabut
tebal yg membuat kami tidak tahan untuk bernarsis ria tiap melewati satu
tanjakan. Karena ini hari Sabtu, banyak motor yg touring beriringan dengan
suara menderu-deru hampir tidak sanggup melewati tanjakan. Mereka hanya
memandang ke arah kami saat kita terengah-engah memutar pedal entah kagum atau
sekedar heran (iseng banget jauh-jauh sepedaanJ ). Jalan semakin miring ke atas, diakhiri tanjakan “sadis
nan jahanam” dengan tembok batako di kiri jalan, kami biasa menyebutnya tembok
ratapan. Disebut demikian karena biasanya banyak penggowes yg tertunduk lunglai
sesampainya di tembok ini, meratapi nasib dihajar tanjakanJ. Panas
di dengkul dan paru semakin naik menuju batasnya seakan berlomba, entah mana yg
lebih panas. Kami tidak sempat memikirkannya tentunya. Sampai di atas, kami
langsung menyeruput teh hangat dengan gula aren yg maknyuss nikmatnya, dibanding
teh biasa.
menaklukkan tanjakan ciherang
Menunggu cukup lama Om wawan belum juga muncul, kami putuskan
melanjutkan perjalanan menuju warung di Hutan Pinus, disebut Catang Malang. Dari
Ciherang ke warung ini, tanjakan tidak kalah ganasnya, bahkan jauh terasa lebih
berat akibat stamina yg semakin menurun. Ketinggian masih bertambah menuju
1200mdpl, beruntung kami disuguhi
pemandangan hutan pinus yg sungguh indah dan mempesona, sedikit
mengurangi panas di dengkul . Di sini kami mulai berpikir bagaimana nasib Om
wawan, berapa lama harus menunggu. Akhirnya Om wawan muncul juga dengan caranya
sendiri, sambil senyum-senyum , keputusan yg sangat bijaksana kata Om agung.
Suasana di puncak Ciherang
suasan hutan pinus
Tidak lama beristirahat, segera kami geber pedal sepeda menuju Kota Bunga.
Rasanya pedal terasa lebih berat dari biasanya, entah rantai yg mengering
kehilangan pelumas ataukah stamina yg semakin berkurang. Beruntung sepanjang
jalan menuju Kota Bunga kebanyakan turunan dengan disuguhi pemandangan kebun teh
yg sedap dipandang memaksa kami narsis sesekali. Waktu tempuh cukup cepat untuk
sampai ke Kota Bunga dengan banyaknya turunan panjang. Terlihat wajah Om Wawan
sumringah dengan bonus turunan nan panjang. Segera saja kami sampai di Kota
Bunga berlanjut ke Taman Bunga Nusantara. Jelas tak mungkin kami lewatkan tanpa
bernarsis ria di tempat ini karena inilah tujuan utama ekspedisi kali ini,
suatu bukti yg sahih ke rekan-rekan Mentari69 yg lain bahwa kita sudah
membentangkan bendera Mentari dengan bangganya di siniJ. Berhubung perut
keroncongan sejak tadi siang, kami putuskan makan dulu sampai jam 15.00.
menaklukkan tanjakan terakhir ciherang
warung catang malang
Tanpa
banyak membuang waktu, kembali kami meluncur ke arah Cikalong, salah satu
kesalahan kami mengambil jalan, sehingga harus memutar ke arah waduk Cirata,
setidaknya 20KM lebih jauh dibanding apabila arah langsung ke arah Cariu.
Turunan panjang dengan pemandangan indah terhampar sepanjang jalan Cikalong.
Saking panjangnya membuat kita terlena dan merasa tidak berapa lama lagi akan sampai
Cibarusah. Di sinilah letak kesalahan kami berikutnya , terlena dengan turunan
panjang hingga terkaget-kaget dan sempat menyiutkan nyali saat berhadapan
dengan tanjakan yg tidak kalah kejam dan panjangnya dari Cikalong ke arah
Cariu. Kondisi sudah gelap dengan hanya mengandalkan lampu Om Agung (saya
sendiri hanya bawa lampu belakang, Om wawan malah tanpa lampu sama sekali).
Kombinasi gelap, truk-truk besar yg lewat, serta tanjakan seakan sangat
menyiksa. Masih beruntung langit cerah ceria dihiasi bulan Purnama sedikit
menghibur kami. Tapi buat kami ini semua sebuah pengalaman unik tersendiri yg
mungkin tidak kami dapatkan lagi. Satu lagi rintangan yg dialami dengan
bocornya ban belakang sepeda saya, segera saja kami minggi ke salah satu warung
di pinggir jalan. Beruntung kami selalu bawa ban cadangan, dengan dibantu Om
wawan cara nambal ban, kurang dari 15 menit ban yg bocor sudah bisa diatasi. Dengan
tertatih-tatih dan beriringan selalu, diselingi mampir ke warung beberapa kali,
tiba juga akhirnya kami di Cibarusah sekitar jam 22.15 dengan perasaan seolah
sudah sampai rumah setelah apa yg kami lalui sebelumnya. Untuk alasan
keselamatan, kami putuskan lewat jalan raya Cibarusah Cikarang hingga akhirnya
dengan sisa-sisa tenaga yg ada sampai di rumah sekitar jam 23.15. Sedikit
cemberut membayang di wajah istri, mungkin karena ini juga saya mengalami sial
bocor ban di jalan. Satu hal yg diyakini para goweser bahwa restu istri atau
biasa kami menyebut “RRI” (ridho restu istri)
itu sangat penting demi kelancaran selama menggowes dan banyak yg
membuktikan kebenarannya, hingga kadang SIM (surat ijin menggowes) itu begitu
penting dan takut dilanggar para goweser. Demikian sekelumit kisah ekspedisi
kami ke Kota bunga, sampai ketemu di cerita petualangan gowes selanjutnya.
sesampainya di kota bunga
peta perjalanan kami



































