Hikmah lain
yg didapat dari kegiatan gowes blusukan keluar masuk kampung dan daerah
terpencil alias “cross country”
sesuai nama salah satu genre sepeda gunung adalah bisa melihat dan menyaksikan
secara langsung dengan lebih dekat kehidupan saudara-saudara kita yg keadaannya
bahkan bisa dikategorikan jauh di bawah garis kemiskinan. Hal yg mana luput
dari pengelihatan kita saat kita sehari-harinya hanya melewati jalan umum dan
normal dengan kendaraan bermotor ataupun kendaraan umum. Sama seperti
tempat-tempat terpencil yg banyak menyimpan eksotisme keindahan alam, di balik
itu semua tidak kalah banyaknya juga menyimpan sisi-sisi kehidupan yg getir dan
membuat hati kita trenyuh saat melihatnya. Anak-anak yg kurus terlihat jelas
kekurangan gizi, para lansia yg kurang terurus, jalanan rusak dan berdebu,
rumah sangat sederhana dan banyak yg reot dan kurang sanitasi dan sejumlah
pemandangan memprihatinkan lainnya, itu semua sangat jelas menunjukkan
kegetiran tadi.
![]() |
| Rumah Penduduk Yang Memprihatinkan |
Sementara itu kita yang sehari-harinya seringnya melewati
jalan-jalan di kota-kota, lebih banyak terlihat gemerlapnya kehidupan modern yg
menunjukkan sisi-sisi kemewahan. Gedung-gedung yg megah baik swasta ataupun
pemerintahan, mal, café-café modern, restoran-restoran masa kini (McD, HokBen,
StarBucks, KFC, 7Eleven, dll.), tempat Karaoke, tempat Dugem (Diskotik), Spa,
butik dan symbol-simbol kemewahan lain yg sangat memanjakan gaya hidup kita yg hedonis menunjukkan sisi
kehidupan yg kontras alias berlawanan. Masih teringat saat gowes bareng
teman-teman Mentari69 dan Ecekeble, kemalaman di sekitar Gunung Padang daerah
Cianjur, kami lewati rumah-rumah penduduk teramat sederhana yg belum teraliri
listrik. Bisa dibayangkan andaikan kita yg tinggal di situ, gelap gulita tanpa
listrik, akses berita dan informasi yg jelas sangat minim, tidak bisa main
internet, nonton TV dan sekian kesenangan yg lain, membayangkannya saja rasanya
sudah sulit. Sungguh salut dengan saudara-saudara kita itu yg mampu menjalani
itu semua. Kita yakin bukan kemauan
mereka untuk seperti itu, tetapi akses informasi, pengetahuan, pendidikan, dan
kesempatan yg terbataslah yg menyebabkan mereka kurang beruntung dibandingkan
kita. Pendidikan yg kurang berakibat kesadaran terhadap pengetahuan juga kurang
dan hal ini diwariskan kepada generasi berikutnya yg terus berulang sampai
sekarang. Jikalau ada yg beruntung, sebagian kecil mendapatkan kesempatan untuk
lepas dari itu semua dan memperbaiki kehidupan. Tetapi sayang sekali masih
banyak saudara-saudar kita yg kurang seberuntung itu dan merekalah yg
membutuhkan uluran tangan kita yg lebih mampu untuk memberikan sedikit
keberuntungan berupa “kail” bukan “ikan”. Di sisi lain, semakin banyak kita
mendengar berita baik pejabat, poli”tikus”, ataupun selebritis yg terjebak
kasus, itupun mungkin hanya sebagian kecil saja yg diketahui seperti fenomena
gunung es. Kasus yg banyak adalah kasus korupsi yg semakin massif dewasa ini dan
tidak mengenal jabatan, suku, ras, ataupun agama maupun jenis kelamin dan
pekerjaan, dari yg pegawai pemerintah maupun swasta, seakan tidak ada habisnya memunculkan
berita tentang korupsi. Dari yg kecil-kecilan yg sulit terdeteksi maupun yg
terang benderang hingga yg nilai korupsinya triliunan. Dan hampir di setiap
sisi kehidupan sehari-hari kita menyaksikan budaya korup, mulai tilang Pak
Polisi yg berakhir damai, uang pelicin masuk sekolah favorit, uang pelicin
untuk pegawai pemerintah di hampir semua department yg sudah jadi rahasia umum,
hingga sogokan dari supplier untuk karyawan bagian pembelian di perusahaan
swasta yg juga sudah sangat lumrah. Artinya budaya korup benar-benar sudah
mendarah daging dari kehidupan masyarakat sehari-hari, padahal tanpa korupsipun
mereka sudah sangat bisa menjalani hidup dengan layak, minimal tidak kelaparan
dan lebih baik dibanding saudara-saudara kita yg di pelosok-pelosok tadi. Kalau
dirunut-runut pangkalnya berujung pada suatu gaya hidup yg bernama hedonisme.
Alangkah mudahnya terlihat sehari-hari di mal atau pusat perbelanjaan
orang-orang dengan gaya hidup berlebihan mulai dari kendaraan, pakaian, belanja
barang mewah, ataupun belanja dalam jumlah yg berlebihan. Tas ataupun jam
tangan berharga hingga ratusan juta rupiah untuk setiap buahnya sudah sering
terdengar dibeli orang-orang kaya di negeri ini. Belum lagi gaya hidup di
kota-kota seperti Dugem yg menghambur-hamburkan uang dalam jumlah yg sangat
banyak hanya untuk membeli minuman keras dan narkoba serta perempuan. Padahal
hanya sepersekian persen saja dari jumlah tersebut sudah berarti sangat banyak
untuk saudara-saudara kita yg kekurangan. Setiap hari kita disuguhi dengan gaya hidup yg seolah menjadi standard yg
harus diikuti kalau tidak mau disebut kuno, “ngga gaul”, ataupun istilah yg
menyudutkan lainnya. Alangkah absurdnya semua itu dan hal-hal absurd tersebut
semakin bisa kita rasakan saat kita gowes blusukan keluar masuk kampung dan
pelosok atau pegunungan. Hanya sepelemparan batu dari rumah kita, akan
ditemukan sisi kehidupan yg lain. Gowes blusukan mengajarkan kita untuk lebih
dekat dan berguru kepada alam. Dengan gowes akan diajarkan oleh alam tentang
kesederhanaan, tentang sebuah pesan nurani untuk berbagi lebih banyak kepada
saudara-saudara kita yg lain sekaligus menjaga alam itu sendiri. Gowes blusukan
juga memberi tahu kita tentang alam atau hutan kita yg semakin terkikis oleh
kehidupan kita dan memberi pesan untuk lebih bijak memanfaatkan dan lebih
peduli untuk menjaganya. Sangat sulit mengharapkan pemerintah yg ditempati
orang-orang yg lebih banyak mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya
untuk peduli kepada semua itu, dan rasanya tidak mungkin juga mengajak mereka
pejabat-pejabat pemerintah untuk gowes blusukan agar mereka tahu dan melihat
sendiri kehidupan rakyatnya di pelosok yg sebenarnya. Untuk membuat gowes
blusukan lebih berarti, tidak ada salahnya memberikan nilai lebih dengan
mengulurkan tangan untuk saudara-saudara kita, berbagi rezeki sepeda ataupun setidaknya menjadi tugas
kita untuk memberitakan tentang mereka untuk menggugah lebih banyak dari kita
yg peduli dengan nasib mereka. Paling ideal adalah memberikan “kail” untuk
mereka yg bisa berupa beasiswa untuk anak-anak mereka agar bisa sekolah lebih
tinggi dan suatu saat nanti bisa mengubah nasib setidaknya lebih baik dari
orang tua mereka ataupun kail-kail yg lain seperti buku-buku bekas dan yang
lainnya. Kalaupun belum bisa memberi “kailnya”, tidak ada salahnya memberi
bantuan langsung berupa bhakti sosial atau kebutuhan sehari-hari. Semoga !
“Lets share our cycle
livelihood”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar