Rabu, 14 Agustus 2013

Menyambung Hidup dan Berbagi Rezeki Sepeda


Hikmah lain yg didapat dari kegiatan gowes blusukan keluar masuk kampung dan daerah terpencil alias “cross country” sesuai nama salah satu genre sepeda gunung adalah bisa melihat dan menyaksikan secara langsung dengan lebih dekat kehidupan saudara-saudara kita yg keadaannya bahkan bisa dikategorikan jauh di bawah garis kemiskinan. Hal yg mana luput dari pengelihatan kita saat kita sehari-harinya hanya melewati jalan umum dan normal dengan kendaraan bermotor ataupun kendaraan umum. Sama seperti tempat-tempat terpencil yg banyak menyimpan eksotisme keindahan alam, di balik itu semua tidak kalah banyaknya juga menyimpan sisi-sisi kehidupan yg getir dan membuat hati kita trenyuh saat melihatnya. Anak-anak yg kurus terlihat jelas kekurangan gizi, para lansia yg kurang terurus, jalanan rusak dan berdebu, rumah sangat sederhana dan banyak yg reot dan kurang sanitasi dan sejumlah pemandangan memprihatinkan lainnya, itu semua sangat jelas menunjukkan kegetiran tadi.
Rumah Penduduk Yang Memprihatinkan

Sementara itu kita yang sehari-harinya seringnya melewati jalan-jalan di kota-kota, lebih banyak terlihat gemerlapnya kehidupan modern yg menunjukkan sisi-sisi kemewahan. Gedung-gedung yg megah baik swasta ataupun pemerintahan, mal, café-café modern, restoran-restoran masa kini (McD, HokBen, StarBucks, KFC, 7Eleven, dll.), tempat Karaoke, tempat Dugem (Diskotik), Spa, butik dan symbol-simbol kemewahan lain yg sangat memanjakan  gaya hidup kita yg hedonis menunjukkan sisi kehidupan yg kontras alias berlawanan. Masih teringat saat gowes bareng teman-teman Mentari69 dan Ecekeble, kemalaman di sekitar Gunung Padang daerah Cianjur, kami lewati rumah-rumah penduduk teramat sederhana yg belum teraliri listrik. Bisa dibayangkan andaikan kita yg tinggal di situ, gelap gulita tanpa listrik, akses berita dan informasi yg jelas sangat minim, tidak bisa main internet, nonton TV dan sekian kesenangan yg lain, membayangkannya saja rasanya sudah sulit. Sungguh salut dengan saudara-saudara kita itu yg mampu menjalani itu semua.  Kita yakin bukan kemauan mereka untuk seperti itu, tetapi akses informasi, pengetahuan, pendidikan, dan kesempatan yg terbataslah yg menyebabkan mereka kurang beruntung dibandingkan kita. Pendidikan yg kurang berakibat kesadaran terhadap pengetahuan juga kurang dan hal ini diwariskan kepada generasi berikutnya yg terus berulang sampai sekarang. Jikalau ada yg beruntung, sebagian kecil mendapatkan kesempatan untuk lepas dari itu semua dan memperbaiki kehidupan. Tetapi sayang sekali masih banyak saudara-saudar kita yg kurang seberuntung itu dan merekalah yg membutuhkan uluran tangan kita yg lebih mampu untuk memberikan sedikit keberuntungan berupa “kail” bukan “ikan”. Di sisi lain, semakin banyak kita mendengar berita baik pejabat, poli”tikus”, ataupun selebritis yg terjebak kasus, itupun mungkin hanya sebagian kecil saja yg diketahui seperti fenomena gunung es. Kasus yg banyak adalah kasus korupsi yg semakin massif dewasa ini dan tidak mengenal jabatan, suku, ras, ataupun agama maupun jenis kelamin dan pekerjaan, dari yg pegawai pemerintah maupun swasta, seakan tidak ada habisnya memunculkan berita tentang korupsi. Dari yg kecil-kecilan yg sulit terdeteksi maupun yg terang benderang hingga yg nilai korupsinya triliunan. Dan hampir di setiap sisi kehidupan sehari-hari kita menyaksikan budaya korup, mulai tilang Pak Polisi yg berakhir damai, uang pelicin masuk sekolah favorit, uang pelicin untuk pegawai pemerintah di hampir semua department yg sudah jadi rahasia umum, hingga sogokan dari supplier untuk karyawan bagian pembelian di perusahaan swasta yg juga sudah sangat lumrah. Artinya budaya korup benar-benar sudah mendarah daging dari kehidupan masyarakat sehari-hari, padahal tanpa korupsipun mereka sudah sangat bisa menjalani hidup dengan layak, minimal tidak kelaparan dan lebih baik dibanding saudara-saudara kita yg di pelosok-pelosok tadi. Kalau dirunut-runut pangkalnya berujung pada suatu gaya hidup yg bernama hedonisme. Alangkah mudahnya terlihat sehari-hari di mal atau pusat perbelanjaan orang-orang dengan gaya hidup berlebihan mulai dari kendaraan, pakaian, belanja barang mewah, ataupun belanja dalam jumlah yg berlebihan. Tas ataupun jam tangan berharga hingga ratusan juta rupiah untuk setiap buahnya sudah sering terdengar dibeli orang-orang kaya di negeri ini. Belum lagi gaya hidup di kota-kota seperti Dugem yg menghambur-hamburkan uang dalam jumlah yg sangat banyak hanya untuk membeli minuman keras dan narkoba serta perempuan. Padahal hanya sepersekian persen saja dari jumlah tersebut sudah berarti sangat banyak untuk saudara-saudara kita yg kekurangan. Setiap hari kita disuguhi dengan  gaya hidup yg seolah menjadi standard yg harus diikuti kalau tidak mau disebut kuno, “ngga gaul”, ataupun istilah yg menyudutkan lainnya. Alangkah absurdnya semua itu dan hal-hal absurd tersebut semakin bisa kita rasakan saat kita gowes blusukan keluar masuk kampung dan pelosok atau pegunungan. Hanya sepelemparan batu dari rumah kita, akan ditemukan sisi kehidupan yg lain. Gowes blusukan mengajarkan kita untuk lebih dekat dan berguru kepada alam. Dengan gowes akan diajarkan oleh alam tentang kesederhanaan, tentang sebuah pesan nurani untuk berbagi lebih banyak kepada saudara-saudara kita yg lain sekaligus menjaga alam itu sendiri. Gowes blusukan juga memberi tahu kita tentang alam atau hutan kita yg semakin terkikis oleh kehidupan kita dan memberi pesan untuk lebih bijak memanfaatkan dan lebih peduli untuk menjaganya. Sangat sulit mengharapkan pemerintah yg ditempati orang-orang yg lebih banyak mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya untuk peduli kepada semua itu, dan rasanya tidak mungkin juga mengajak mereka pejabat-pejabat pemerintah untuk gowes blusukan agar mereka tahu dan melihat sendiri kehidupan rakyatnya di pelosok yg sebenarnya. Untuk membuat gowes blusukan lebih berarti, tidak ada salahnya memberikan nilai lebih dengan mengulurkan tangan untuk saudara-saudara kita, berbagi rezeki sepeda ataupun setidaknya menjadi tugas kita untuk memberitakan tentang mereka untuk menggugah lebih banyak dari kita yg peduli dengan nasib mereka. Paling ideal adalah memberikan “kail” untuk mereka yg bisa berupa beasiswa untuk anak-anak mereka agar bisa sekolah lebih tinggi dan suatu saat nanti bisa mengubah nasib setidaknya lebih baik dari orang tua mereka ataupun kail-kail yg lain seperti buku-buku bekas dan yang lainnya. Kalaupun belum bisa memberi “kailnya”, tidak ada salahnya memberi bantuan langsung berupa bhakti sosial atau kebutuhan sehari-hari. Semoga !

“Lets share our cycle livelihood”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar