Rabu, 21 Agustus 2013

Menembus Kabut Puncak Dieng

Libur lebaran kali ini saya manfaatkan semaksimal mungkin dengan dua agenda sekaligus, silaturahmi dengan keluarga besar istri dan melampiaskan hasrat penasaran menaklukan tanjakan Dieng yg terkenal dengan pendakian tajamnya. Semakin penasaran dengan ajakan Om Gunpar yg jauh jauh hari sudah mengompori saya dengan tantangan Puncak Dieng untuk ditaklukkan dengan sepeda dan gambaran tentang bagaimana asyiknya gowes ke Dieng dengan segala sensasinya.
Perjuangan menaklukkan puncak Dieng sudah harus dimulai dengan perjuangan menembus kemacetan sepanjang jalan mudik menuju kampung di Banjarnegara. 17 jam waktu yg harus dihabiskan di jalan, membutuhkan kesabaran dan stamina tinggi, apalagi harus nyetir sendirian. Rute yg diambil sengaja melewati subang-kalijati-majalengka lanjut arah ciamis masuk jalur selatan sekalian ngintip trek sepanjang jalan dan berandai-andai jika perjalanan pulang kampung ditempuh dengan bersepeda. Melihat jalur antara majalengka hingga ciamis yg naik turun pegunungan terus menerus sekitar 80an km rasanya akan jadi trip siksaan sepanjang jalan.
Pemandangan Jalur Selatan
Berangkat tgl 3 Aug 2013 akhirnya tiba juga tgl 4 Aug setelah berjuang sekitar 17jam, tepatnya di Ds Tapen Kec Wanadadi, Banjarnegara. Sambil menunggu hari-H gowes ke Dieng, saya coba keliling-keliling seputar Banjarnegara merasakan suasana alam pedesaan yg masih bersih dan sepi dibandingkan Jakarta. Banjarnegara adalah sebuah kabupaten di Jawa Tengah yg terletak di tengah tengah, berbatasan dengan kabupaten Purbalingga di barat, Wonosobo di timur, Kebumen di selatan serta Kabupaten Batang dan Pekalongan di utara. Ketinggian kontur wilayahnya amat bervariasi mulai yg kurang dari 100m seperti daerah Susukan dan Klampok hingga yg lebih dari 1000m yg mencakup 24% wilayah Banjarnegara seperti Batur dengan wilayah Dieng di dalamnya, Wanayasa dan Karangkobar. Bisa dibayangkan banyaknya trek tanjakan yg bisa dijajal tentu akan menjadi surganya para goweser khususnya buat yg beraliran ENTE alias nanjak terus . Di sana sini amat mudah ditemui tanjakan dengan maskotnya tentu saja dataran tinggi Dieng.
Sehari setelah sampai di Banjarnegara, saya coba berkeliling sekitar Ds. Tapen sambil melemaskan dengkul. Tidak jauh dari rumah, sudah disambut tanjakan jembatan sungai serayu tumpahan dari waduk mrican  yg cukup tajam, lumayan buat pemanasan. Setelah itu saya lanjutkan berkeliling waduk mrican, melihat keindahan waduk yg asalnya dari pembendungan sungai serayu. Tampak dikejauhan penduduk desa naik sampan di tengah waduk mencari ikan. Bayangan mereka terpantul di air yg tenang dan jernih saat tertimpa matahari pagi, sebuah pemandangan yg indah. Di sepanjang pinggir waduk sisi selatan, tampak pepohonan yg rimbun menghiasi  waduk. Tempat ini sering dikunjungi warga sekitar sebagai tempat wisata murah meriah. Setelah berkeliling sebentar, sepeda saya arahkan ke arah utara desa tapen, menyusuri pinggiran sungai. Pemandangan berganti menjadi persawahan yg tidak kalah indahnya. Menyuguhkan hamparan persawahan yg berundak-undak hingga batas cakrawala dengan latar belakang pegunungan , ditambah langit biru, cerah, dan semilir angin membelai, sungguh menyejukkan. Menenangkan jiwa dan pikiran barang sesaat , lepas dari hiruk pikuknya keramaian kota dan pekerjaan yg menguras tenaga dan pikiran. Sesaat menikmati suguhan alam sebelum saya kembali ke rumah.
Pemandangan Waduk Mrican
 Pemandangan Seputar Desa Tapen
 
H-4 gowes Dieng, kembali saya gowes pemanasan, kali agak jauh menuju daerah utara kecamatan Wanadadi. Selepas jembatan Wanadadi belok ke kanan menuju desa secang saya langsung dihadang tanjakan super tajam. Bayangkan saja, hanya dalam 2.2 km ketinggian permukaan naik 270 m atau kemiringan sekitar 12%, lebih miring dari curug ciherang. Kalau di Tour de France sudah masuk kategori HC alias horse categorie. Kesalahan perhitungan kemiringan akibat terhalang tikungan memaksa sy berhenti di tengah karena terlambat memindah sproket. Tampak sebuah motor juga dipaksa berhenti dan harus menurunkan pembonceng untuk dapat lanjut mendaki. Benar benar trek yg pas sebagai pemanasan gowes Dieng. Pendakian saya lanjutkan dengan sproket paling ringan. Setelah susah payah sampai di atas, sepeda saya arahkan ke kiri mengarah desa Bondolharjo yg termasuk wilayah kec. Punggelan. Di sini saya memasuki trek makadam dengan bonus pemandangan alam pedesaan yg sejuk dengan rimbunnya pohon beragam jenis. Pohon durian dan salak banyak terlihat di pinggir jaln. Trek masih naik turun sebelum desa punggelan. Dari sini mengarah ke selatan dengan bonus turunan panjang kembali menuju Wanadadi.
 Pengendara Motor Kesulitan Mendaki
 
Pemandangan Seputar Desa Bondolharjo
 
Trek Offroad di Bondolharjo 
Dapat disimpulkan kalau Banjarnegara banyak menawarkan keindahan alam, mulai waduk, curug, seperti curug pitu dan curug muncar belum lagi wisata arung jeram sungai serayu, dan tentu saja wisata Dieng. Pun juga dengan beragam trek sepeda di sana sini. Dengan semua itu sangat saya rekomendasikan untuk mengunjungi Banjarnegara sebagai tujuan wisata, sekaligus mengenal lebih dekat budaya dan alam Indonesia yg sesungguhnya sangat kaya dengan sisi-sisi eksotismenya, sekaligus juga membagi rezeki saudara sebangsa dengan berbelanja di tempat wisata, daripada menghamburkan uang berwisata ke luar negeri.
Hari H yg saya tunggu akhirnya tiba juga. Sabtu 10 Aug 2013, bertujuh kami para goweser dari beragam daerah berkumpul di alun alun Banjarnegara. Saya sendiri langsung gowes dari rumah sekitar 18 km lewat banjarmangu yg melewati rolling naik turun cukup menguras tenaga. Udara pagi yg bersih dan jalanan sepi menambah semangat menggenjot pedal di pagi buta, tak sampai satu jam sudah sampai di alun-alun. Om Gunpar, Om wawan, om Adji, om Kuntoro, om Cipto, om Hendri dan saya sendiri adalah peserta kali ini dari beragam daerah seperti om Wawan dari Tegal hingga om Cipto yg dibela-belain naik motor dari Batang demi merasakan sensasi mendaki Dieng. Tepat jam 8 pagi kami loading sepeda ke pick up dan meluncur menuju wonosobo sebagai titik start. Di pom bensin wonosobo kita unloading sekaligus tempat parkir mobil om Adji, mobil pick up nya sendiri balik ke Banjarnegara. Tepat jam 9 pagi kami mulai menggenjot pedal masing-masing setelah diawali doa bersama dan sedikit wejangan dari om Gunpar kalo gowes pelan-pelan saja dan happy meskipun kelihatannya sulit diwujudkan. Tanjakan sedang langsung menyambut kami selepas pom bensin di daerah Kalibeber. Saking asyiknya gowes ,saya toleh ke belakang teman teman yg lain sudah tidak kelihatan, tinggal saya dan om Gunpar. Setelah beberapa lama menggowes satu hal yg baru saya sadari yakni suhu anggota tubuh yg naik dengan cepat meski suhu udara luar semakin dingin. Mulai telapak kaki, dengkul , bokong, hingga paru paru memanas dengan cepat akibat jalan yg semakin miring tanpa jeda sedikitpun, hanya kepala yg masih dingin dan masih bisa berpikir jernih untuk tahu kapan mengambil jeda mengatur nafas. Tetapi inilah sensasi yg sebenarnya dari gowes mendaki, semakin tajam tanjakan semakin tinggi sensasinya. Nafas yg semakin memburu sangat jelas terdengar di telinga diiringi detak jantung yg semakin cepat. Semua itu memberi satu pelajaran bahwa untuk mencapai puncak tujuan memerlukan perjuangan keras dan sebaliknya sangat mudah terperosok ke dasar jika kita menginginkannya. Di balik nafas yg semakin memburu kami dihibur dengan pemandangan alam menawan sepanjang jalan menuju Dieng terutama di pendakian sebelum menara pandang. Jajaran pegunungan sambung menyambung diselimuti kabut di lerengnya menambah cantiknya pemandangan. Sambil mengatur nafas, saya dan om Gunpar berhenti untuk mengambil gambar beberapa kali. Setelahnya jalan semakin mendaki dan terasa semakin berat ditambah semakin tipisnya oksigen membuat otot semakin cepat lelah. Jalan mendaki yg meliuk-liuk diakhiri dengan maskot tanjakan  menara pandang di desa Tieng di ketinggian 1789 mdpl. Di sini saya dan om Gunpar menepi setelah mendaki sekitar 2 jam-an. Banyak pengendara motor dan mobil yg juga singgah di sini. Sambil menunggu teman teman yg lain, kami segera menyantap sate ayam yg maknyus rasanya di tengah hawa dingin dan perut lapar. Dua porsi sate dengan lontong langsung tandas dalam tempo yg singkat. Kami menunggu cukup lama dan tidak lupa bernarsis ria dengan pemandangan sekitar yg juga tidak kalah indahnya dengan ciri khas pegunungan kabut tebal yg menyerbu dengan cepat namun dengan cepat pula menghilang. Menunggu sekitar satu setengah jam sebelum semua teman teman datang dan selama itu kabut yg teramat dingin dengan cepat menurunkan suhu tubuh dan menusuk ke tulang membuat saya menggigil kedinginan meskipun saya sudah memakai jas hujan. Setelah semua selesai makan, sekitar jam satu kami lanjutkan perjalanan dan tiga orang teman om Adji, om Cipto dan om Kuntoro kembali turun ke wonosobo, tinggal berempat yg lanjut ke Dieng. Mulai menara pandang hingga Dieng kembali kami disiksa tanjakan yg semakin berat menuju ketinggian 2100 mdpl dalam jarak 6 km. Setelah bersusah payah sampai juga kami di Dieng dan langsung menuju komplek Candi Arjuna. Di sini kami istirahat sejenak sambil foto foto dan mengagumi keanggunan dan kemegahan sisa sisa peninggalan nenek moyang ribuan tahun yg lalu. Suasana sore begitu menyejukkan dengan semilir angin pegunungan di sekitarnya dan sekilas pikiran saya menerawang mengenang tingginya peradaban nenek moyang kita jaman dahulu, mengenang bagaimana sulitnya mereka membangun candi di ketinggian seperti ini. Karya-Nya yg mampu membuat kita takjub dan tertegun. Dinginnya angin pegunungan dipadu eloknya sajian untuk mata, membuat saya terkagum-kagum.
Menjelang Menara Pandang
 
Kabut tebal di Menara Pandang
Narsis di Menara Pandang
Kompleks Candi Arjuna
Tidak lama kami berhenti dan melanjutkan perjalanan. Waktu bergulir cepat dan malam segera menjelang saat kami masih berada di daerah desa Batur dan Banjarnegara masih 40an km lagi. Dari semenjak berangkat bayangan kami tentang trek mulai Dieng ke Banjarnegara hanya tinggal menggelundung turun, palingan juga satu jam sampai.  Ternyata kenyataan tidak seperti yg diharapkan. Di balik turunan curam yg membuat laju sepeda menukik tajam dengan sangat cepat hingga dengan mudah menyalip motor, langsung disambut tanjakan yg cukup menguras tenaga yg sudah terkuras. Tantangan yg kami hadapi saat seperti ini bertambah, saat menurun harus menghadapi dinginnya kabut menusuk tulang sambil meraba di kegelapan dengan mengandalkan cahaya lampu sepeda sambil menekan tuas rem kuat kuat, sesaat berikutnya harus menanjak di kegelapan. Jas hujan yg saya kenakan sangat tidak nyaman dipakai karena keringat masih menempel di dalam jas yg membuat saya tetap kedinginan saat menurun. Seharusnya menggunakan jaket windbreaker. Kondisi rolling naik turun ini berlangsung hingga menjelang desa Karangkobar dengan diselingi kejadian tertinggalnya tas om Gunpar di pinggir jalan, beruntung ada tukang ojek yg mengantar untuk balik mengambil. Mulai karangkobar hingga jembatan Banjarmangu kami lalui dengan tantangan turunan menukik tajam dengan hutan gelap di kiri kanan dan jalan yg rusak menambah tingkat bahayanya perjalanan. Bunyi rem berciutan menahan beban yg terus menerus. Setelah tertatih tatih dan kedinginan melewati tanjakan terakhir selepas  jembatan Banjarmangu, sekitar jam 9 malam akhirnya bisa juga kami selesaikan misi hari ini menembus kabut puncak Dieng. Setelah menyantap hidangan makan malam ayam goreng kampung di alun alun, kami loading kembali sepeda ke mobil pick up untuk pulang. Direkomendasikan untuk membawa windbreaker dan jas hujan sekaligus untuk melawan dingin sekaligus berjaga jaga kalau turun hujan. Demikian sekilas petualangan bersepeda saya di Banjarnegara dan sampai jumpa di petualangan bersepeda berikutnya, semoga !

Pemandangan Sekitar Batur
Jalur Gowes


4 komentar:

  1. Thanks om gunpar, sudah ngajak kita gowes ke Dieng

    BalasHapus
  2. Saya asli banjarmangu malah blm pernah nyobain hehehe......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo om, lebaran besok rencana mau gowes Banjarnegara lagi,

      Hapus