Perjuangan menaklukkan puncak Dieng sudah harus dimulai dengan perjuangan menembus kemacetan sepanjang jalan mudik menuju kampung di Banjarnegara. 17 jam waktu yg harus dihabiskan di jalan, membutuhkan kesabaran dan stamina tinggi, apalagi harus nyetir sendirian. Rute yg diambil sengaja melewati subang-kalijati-majalengka lanjut arah ciamis masuk jalur selatan sekalian ngintip trek sepanjang jalan dan berandai-andai jika perjalanan pulang kampung ditempuh dengan bersepeda. Melihat jalur antara majalengka hingga ciamis yg naik turun pegunungan terus menerus sekitar 80an km rasanya akan jadi trip siksaan sepanjang jalan.
Pemandangan Jalur Selatan
Berangkat tgl 3
Aug 2013 akhirnya tiba juga tgl 4 Aug setelah berjuang sekitar 17jam, tepatnya
di Ds Tapen Kec Wanadadi, Banjarnegara. Sambil menunggu hari-H gowes ke Dieng,
saya coba keliling-keliling seputar Banjarnegara merasakan suasana alam
pedesaan yg masih bersih dan sepi dibandingkan Jakarta. Banjarnegara adalah
sebuah kabupaten di Jawa Tengah yg terletak di tengah tengah, berbatasan dengan
kabupaten Purbalingga di barat, Wonosobo di timur, Kebumen di selatan serta
Kabupaten Batang dan Pekalongan di utara. Ketinggian kontur wilayahnya amat
bervariasi mulai yg kurang dari 100m seperti daerah Susukan dan Klampok hingga
yg lebih dari 1000m yg mencakup 24% wilayah Banjarnegara seperti Batur dengan
wilayah Dieng di dalamnya, Wanayasa dan Karangkobar. Bisa dibayangkan banyaknya
trek tanjakan yg bisa dijajal tentu akan menjadi surganya para goweser
khususnya buat yg beraliran ENTE alias nanjak terus . Di sana sini amat mudah ditemui
tanjakan dengan maskotnya tentu saja dataran tinggi Dieng. Sehari setelah sampai di Banjarnegara, saya coba berkeliling sekitar Ds. Tapen sambil melemaskan dengkul. Tidak jauh dari rumah, sudah disambut tanjakan jembatan sungai serayu tumpahan dari waduk mrican yg cukup tajam, lumayan buat pemanasan. Setelah itu saya lanjutkan berkeliling waduk mrican, melihat keindahan waduk yg asalnya dari pembendungan sungai serayu. Tampak dikejauhan penduduk desa naik sampan di tengah waduk mencari ikan. Bayangan mereka terpantul di air yg tenang dan jernih saat tertimpa matahari pagi, sebuah pemandangan yg indah. Di sepanjang pinggir waduk sisi selatan, tampak pepohonan yg rimbun menghiasi waduk. Tempat ini sering dikunjungi warga sekitar sebagai tempat wisata murah meriah. Setelah berkeliling sebentar, sepeda saya arahkan ke arah utara desa tapen, menyusuri pinggiran sungai. Pemandangan berganti menjadi persawahan yg tidak kalah indahnya. Menyuguhkan hamparan persawahan yg berundak-undak hingga batas cakrawala dengan latar belakang pegunungan , ditambah langit biru, cerah, dan semilir angin membelai, sungguh menyejukkan. Menenangkan jiwa dan pikiran barang sesaat , lepas dari hiruk pikuknya keramaian kota dan pekerjaan yg menguras tenaga dan pikiran. Sesaat menikmati suguhan alam sebelum saya kembali ke rumah.
![]() |
| Pemandangan Waduk Mrican |
Pemandangan Seputar Desa Tapen
Pengendara Motor Kesulitan Mendaki
Pemandangan Seputar Desa Bondolharjo
Trek Offroad di Bondolharjo
Dapat disimpulkan kalau Banjarnegara banyak menawarkan keindahan
alam, mulai waduk, curug, seperti curug pitu dan curug muncar belum lagi wisata
arung jeram sungai serayu, dan tentu saja wisata Dieng. Pun juga dengan beragam
trek sepeda di sana sini. Dengan semua itu sangat saya rekomendasikan untuk
mengunjungi Banjarnegara sebagai tujuan wisata, sekaligus mengenal lebih dekat
budaya dan alam Indonesia yg sesungguhnya sangat kaya dengan sisi-sisi
eksotismenya, sekaligus juga membagi rezeki saudara sebangsa dengan berbelanja
di tempat wisata, daripada menghamburkan uang berwisata ke luar negeri.
Hari H yg saya tunggu akhirnya tiba juga. Sabtu 10 Aug
2013, bertujuh kami para goweser dari beragam daerah berkumpul di alun alun
Banjarnegara. Saya sendiri langsung gowes dari rumah sekitar 18 km lewat
banjarmangu yg melewati rolling naik turun cukup menguras tenaga. Udara pagi yg
bersih dan jalanan sepi menambah semangat menggenjot pedal di pagi buta, tak
sampai satu jam sudah sampai di alun-alun. Om Gunpar, Om wawan, om Adji, om
Kuntoro, om Cipto, om Hendri dan saya sendiri adalah peserta kali ini dari
beragam daerah seperti om Wawan dari Tegal hingga om Cipto yg dibela-belain
naik motor dari Batang demi merasakan sensasi mendaki Dieng. Tepat jam 8 pagi
kami loading sepeda ke pick up dan meluncur menuju wonosobo sebagai titik
start. Di pom bensin wonosobo kita unloading sekaligus tempat parkir mobil om
Adji, mobil pick up nya sendiri balik ke Banjarnegara. Tepat jam 9 pagi kami
mulai menggenjot pedal masing-masing setelah diawali doa bersama dan sedikit
wejangan dari om Gunpar kalo gowes pelan-pelan saja dan happy meskipun
kelihatannya sulit diwujudkan. Tanjakan sedang langsung menyambut kami selepas
pom bensin di daerah Kalibeber. Saking asyiknya gowes ,saya toleh ke belakang
teman teman yg lain sudah tidak kelihatan, tinggal saya dan om Gunpar. Setelah
beberapa lama menggowes satu hal yg baru saya sadari yakni suhu anggota tubuh
yg naik dengan cepat meski suhu udara luar semakin dingin. Mulai telapak kaki,
dengkul , bokong, hingga paru paru memanas dengan cepat akibat jalan yg semakin
miring tanpa jeda sedikitpun, hanya kepala yg masih dingin dan masih bisa
berpikir jernih untuk tahu kapan mengambil jeda mengatur nafas. Tetapi inilah
sensasi yg sebenarnya dari gowes mendaki, semakin tajam tanjakan semakin tinggi
sensasinya. Nafas yg semakin memburu sangat jelas terdengar di telinga diiringi
detak jantung yg semakin cepat. Semua itu memberi satu pelajaran bahwa untuk
mencapai puncak tujuan memerlukan perjuangan keras dan sebaliknya sangat mudah
terperosok ke dasar jika kita menginginkannya. Di balik nafas yg semakin
memburu kami dihibur dengan pemandangan alam menawan sepanjang jalan menuju
Dieng terutama di pendakian sebelum menara pandang. Jajaran pegunungan sambung
menyambung diselimuti kabut di lerengnya menambah cantiknya pemandangan. Sambil
mengatur nafas, saya dan om Gunpar berhenti untuk mengambil gambar beberapa
kali. Setelahnya jalan semakin mendaki dan terasa semakin berat ditambah
semakin tipisnya oksigen membuat otot semakin cepat lelah. Jalan mendaki yg meliuk-liuk
diakhiri dengan maskot tanjakan menara
pandang di desa Tieng di ketinggian 1789 mdpl. Di sini saya dan om Gunpar
menepi setelah mendaki sekitar 2 jam-an. Banyak pengendara motor dan mobil yg
juga singgah di sini. Sambil menunggu teman teman yg lain, kami segera
menyantap sate ayam yg maknyus rasanya di tengah hawa dingin dan perut lapar.
Dua porsi sate dengan lontong langsung tandas dalam tempo yg singkat. Kami
menunggu cukup lama dan tidak lupa bernarsis ria dengan pemandangan sekitar yg
juga tidak kalah indahnya dengan ciri khas pegunungan kabut tebal yg menyerbu
dengan cepat namun dengan cepat pula menghilang. Menunggu sekitar satu setengah
jam sebelum semua teman teman datang dan selama itu kabut yg teramat dingin
dengan cepat menurunkan suhu tubuh dan menusuk ke tulang membuat saya menggigil
kedinginan meskipun saya sudah memakai jas hujan. Setelah semua selesai makan,
sekitar jam satu kami lanjutkan perjalanan dan tiga orang teman om Adji, om
Cipto dan om Kuntoro kembali turun ke wonosobo, tinggal berempat yg lanjut ke
Dieng. Mulai menara pandang hingga Dieng kembali kami disiksa tanjakan yg
semakin berat menuju ketinggian 2100 mdpl dalam jarak 6 km. Setelah bersusah
payah sampai juga kami di Dieng dan langsung menuju komplek Candi Arjuna. Di sini
kami istirahat sejenak sambil foto foto dan mengagumi keanggunan dan kemegahan
sisa sisa peninggalan nenek moyang ribuan tahun yg lalu. Suasana sore begitu
menyejukkan dengan semilir angin pegunungan di sekitarnya dan sekilas pikiran
saya menerawang mengenang tingginya peradaban nenek moyang kita jaman dahulu,
mengenang bagaimana sulitnya mereka membangun candi di ketinggian seperti ini.
Karya-Nya yg mampu membuat kita takjub dan tertegun. Dinginnya angin pegunungan
dipadu eloknya sajian untuk mata, membuat saya terkagum-kagum.
Menjelang Menara Pandang
Kabut tebal di Menara Pandang
Narsis di Menara Pandang
Kompleks Candi Arjuna
Tidak lama kami
berhenti dan melanjutkan perjalanan. Waktu bergulir cepat dan malam segera
menjelang saat kami masih berada di daerah desa Batur dan Banjarnegara masih
40an km lagi. Dari semenjak berangkat bayangan kami tentang trek mulai Dieng ke
Banjarnegara hanya tinggal menggelundung turun, palingan juga satu jam
sampai. Ternyata kenyataan tidak seperti
yg diharapkan. Di balik turunan curam yg membuat laju sepeda menukik tajam
dengan sangat cepat hingga dengan mudah menyalip motor, langsung disambut
tanjakan yg cukup menguras tenaga yg sudah terkuras. Tantangan yg kami hadapi
saat seperti ini bertambah, saat menurun harus menghadapi dinginnya kabut
menusuk tulang sambil meraba di kegelapan dengan mengandalkan cahaya lampu sepeda
sambil menekan tuas rem kuat kuat, sesaat berikutnya harus menanjak di
kegelapan. Jas hujan yg saya kenakan sangat tidak nyaman dipakai karena
keringat masih menempel di dalam jas yg membuat saya tetap kedinginan saat
menurun. Seharusnya menggunakan jaket windbreaker. Kondisi rolling naik turun
ini berlangsung hingga menjelang desa Karangkobar dengan diselingi kejadian
tertinggalnya tas om Gunpar di pinggir jalan, beruntung ada tukang ojek yg
mengantar untuk balik mengambil. Mulai karangkobar hingga jembatan Banjarmangu
kami lalui dengan tantangan turunan menukik tajam dengan hutan gelap di kiri
kanan dan jalan yg rusak menambah tingkat bahayanya perjalanan. Bunyi rem
berciutan menahan beban yg terus menerus. Setelah tertatih tatih dan kedinginan
melewati tanjakan terakhir selepas
jembatan Banjarmangu, sekitar jam 9 malam akhirnya bisa juga kami
selesaikan misi hari ini menembus kabut puncak Dieng. Setelah menyantap
hidangan makan malam ayam goreng kampung di alun alun, kami loading kembali
sepeda ke mobil pick up untuk pulang. Direkomendasikan untuk membawa
windbreaker dan jas hujan sekaligus untuk melawan dingin sekaligus berjaga jaga
kalau turun hujan. Demikian sekilas petualangan bersepeda saya di Banjarnegara
dan sampai jumpa di petualangan bersepeda berikutnya, semoga !
Pemandangan Sekitar Batur





























