Senin, 30 Desember 2013

Ujung Genteng, Pesona di Ujung Pulau


Untuk mengisi liburan akhir tahun ini, kami coba mengunjungi salah satu tujuan wisata di Sukabumi yakni pantai Ujung Genteng. Sesuai namanya, letaknya benar benar di ujung selatan Jawa barat. Dari sukabumi sendiri masih lebih dari 100kilometeran lagi jarak yg harus ditempuh. Berangkat sekeluarga dari Cikarang jam 5 pagi tgl 25 Dec 2013, arah yg kami tempuh melalui jalur cianjur via jonggol. Sengaja kami tempuh jalur ini mengingat informasi yg didapat betapa parahnya kemacetan jalur bogor sukabumi. Berangkat jam 5 pagi, sejam berikutnya sudah sampai di Cikalong kulon dengan lalu lintas yg masih sepi. Sekitar jam 6.30 sudah masuk kota Cianjur. Sarapan di Cianjur lanjut ke Sukabumi. Dari Sukabumi ada dua arah yg bisa ditempuh. Pertama arah lengkong, dengan mengambil jalan pelabuhan yg mengarah ke pelabuhan ratu, setelah terminal lembursitu tepatnya di puskesmas gunung guruh belok kiri. Hanya ada satu jalan utama menuju ujung genteng, jadi tinggal mengikutinya saja. Jalur ini melewati Lengkong lanjut Surade hingga tiba di ujung genteng. Jarak dari sukabumi sekitar 110km dengan 4 jam perjalanan. Jalanan sebagian besar banyak yg berlobang membuat mobil tidak bisa melaju cepat. Yang ke dua arah Pelabuhan ratu, dari sukabumi ambil arah pelabuhan ratu. Menjelang pelabuhan ratu tepatnya di pertigaan Cidadap belok kiri masuk jalan kiara dua. Jalur ini akan bertemu jalur yg pertama di daerah Lengkong untuk selanjutnya sama sama menuju Surade. Jalur yg ke dua ini lebih jauh dengan jarak dari Sukabumi sekitar 120km tetapi lebih banyak jalan bagusnya dibanding yg pertama. Perginya kami ambil jalur yg pertama sedangkan pulangnya jalur yg ke dua. Kedua jalur ini sama sama menyajikan pemandangan alam yg amat cantik dan hijau sepanjang jalan.
 View menuju Ujung Genteng
Di ujung genteng banyak tersedia penginapan atau Vila dengan harga terjangkau, jadi tidak perlu kuatir kehabisan tempat. Kelebihan pantai ujung genteng adalah airnya yg jernih dengan pasir putihnya. Berikut foto foto yg sempat diambil.








Pulangnya keesokan harinya dan berhubung hari kerja jalanan dari Sukabumi ke arah Cianjur jauh lebih macet. Bermaksud menghindari kemacetan di Cibarusah,  dari cianjur kami coba ambil arah Padalarang untuk masuk tol Cipularang. Tapi ternyata waktu yg ditempuh sangat lama karena terjebak kemacetan di Padalarang, mungkin karena hari kerja.   
Mudah mudahan bisa dijadikan referensi buat om /tante yg mau jalan jalan ke Ujung genteng.

Cumbuan Rindu Alam


Rencana gobar alias gowes bareng tutup tahun Mentari69 kali ini sebenarnya sudah cukup lama direncanakan, tak kurang dari dua bulan waktu terlewati buat kampanye lewat berbagai media iklan hingga info ngalor ngidul di pos ronda ngasi kesempatan para pemuda tangguh Mentari69 mempersiapkan segala sesuatunya terutama RRI (restu ridho istri) yg biasanya paling sulit didapat, namun entah kenapa masih banyak yg tidak bisa ikut dengan berbagai macam alasan khas pemuda mentari mulai dari masih terkena sabetan katana versi joni (jongos nipon), persiapan akhir taun, kena tugas negara dadakan hingga RRI yg tak kunjung tegak bak impoten. Padahal trek yg disuguhkan kali ini konon katanya lebih indah, lebih seksi, lebih asoy, lebih lengkap dan segala lebih lebih yg lain dibandingkan trek Cianten yg pernah kami jajal sebelumnya. Itu semua dari ceritanya om Agung yg sepertinya sih bukan promosi. Pada akhirnya hanya 4 pemuda yg terkumpul, om agung, om edi, om bagas aka pak ketu, dan saya sendiri. Berhubung anggota jelajah hanya 4 orang, kami pakai 1 mobil saja, untuk loading, dua sepeda di dalam sisanya pakai bike rack. Sabtu 7 Dec 2013, pagi pagi buta kami sudah meluncur melewati tol Cikampek lanjut Jagorawi menuju gadog. Perjalanan terasa sangat lancar, tak butuh waktu lama untuk tiba di Gadog, hanya satu jam an saja. Di sebuah masjid kanan jalan tempat kami unloading yg terkenal di kalangan goweser yg menuju puncak sebagai tempat parkir sudah terlihat banyak mobil sedang unloading dengan tunggangan kebesaran masin masing. Tempat ini dipilih lantaran sekaligus sebagai titik finish jalu RA gadog. Sempat saya lirik lirik banyak diantaranya dari sepeda merk terkenal yg tentunya berharga selangit. Tapi yg utama dari gowes bukanlah harga yg tersemat di balik sepedanya namun dengkul yg menggenjot di balik pedalnya.(padahal sich memang ga sanggup beli he..he...). Susuai kesepakatan sebelumnya saya dan om agung ngerace dari bawah, pak ketu dan om cuenk naik angkot, katanya masih butuh banyak latihan buat menaklukkan tanjakan.
Perlahan saya dan om agung mulai menggenjot sepeda menikmati udara pagi nan segar, menyusuri tanjakan gadog puncak. selalu menimbulkan sensasi tersendiri setiap melewati tanjakan, menikmati nafas yg memburu dan keringat menetes yg beradu cepat dengan degupan jantung dan paru paru. Kenikmatan akan bersepeda mencapai klimaksnya saat berhasil mencapai puncak tanjakan. Saat saat seperti ini yg selalu saya tunggu. Di awal tanjakan, perlahan saja kami memutar pedal sepeda namu berubah total saat seorang goweser dengan kecepatan tinggi menyalip kami. Naluri ngerace dengan sedikit gengsi karena disalip segera muncul. Langsung saya kejar goweser tadi meninggalkan om agung di belakang. Selanjutnya saya kuntit goweser tadi sekedar menguji dengkul hasil latihan selama ini. Sekitar 5km berikutnya berhasil juga saya salip goweser yg tidak sempat saya tanya tanya berhubung nafas terlalu panas. Selepas taman safari jalan terasa semakin miring namun beruntung di kiri kanan jalan pemandangan indah khas puncak selalu menyegarkan mata yg melihatnya disertai semilir angin pegunungan yg sedikit membantu menurunkan suhu tubuh. Gowes nanjak pemanasan berakhir di warung mang ade. Total 22km jarak tempuh dengan kemiringan jalan naik 1050m ,dari 450m di gadog hingga mencapai 1500m di warung mang ade.
 Pemandangan sepanjang jalur Puncak
Berhubung tak satupun dari kami yg pernah lewat trek ini, dengan alasan takut nyasar kami sepakat memakai jasa marshal alias pemandu jalan dengan membayar 250rb. Om Tedy sang marshal sudah siap dengan terlebih dulu memberi sedikit wejangan sebelum masuk ke trek. Tak butuh waktu lama sejak masuk trek untuk menemukan nikmatnya jalur offroad dengan jalan tanah becek dan berlumpur sehabis hujan semalam.  Prosotan demi prosotan yg nikmatnya tidak ketulungan saat dilalui menjadi menu trek selanjutnya. Dengan titik start yg harus dicapai dengan nanjak 1000an meter bisa dipastikan trek sebaliknya adalah jalan menurun nan maknyuss. Olah tkp segera digelar saat terhampar pemandangan puncak yg menggoda sebagai barbuk alias barang bukti perjalanan. Puas jepret jepret perjalanan kami lanjutkan menyusuri pinggiran rindu alam. Hutan yg masih lebat di kiri kanan jalan menemani sepanjang jalan sebelum memasuki kebun teh yg membentang hingga kejauhan. Hujan rintik rintik mulai turun memaksa kami mengenakan jas hujan. Kombinasi jalan berlumpur, hujan rintik, hingga dinginnya suhu puncak dengan hijaunya vegetasi alam semakin menambah nikmatnya gowes kali ini.

 Lintasan awal Rindu Alam Classic
 Kebun teh nan mempesona
Kebun teh ini selanjutnya berlanjut memasuki perkebunan Gunung Mas yg juga salah satu obyek wisata di daerah puncak yg cocok untuk wisata keluarga dengan tempat pemancingan dan kolam renang. Dari sini akan tembus ke bagian pintu gerbang Taman Safari. Hujan bertambah deras, suhu tubuh dengan cepat bertambah dingin. Selepas taman safari mulai kami dapati jalan yg menanjak termasuk di dalamnya tanjakan ngehek yg terkenal. Berhubung saya gunakan ukuran ban yg kecil yg sebenarnya kurang cocok dipakai di jalur berlumpur, bersama pak ketu sering tertinggal di belakang. Dengan gaya yg khas fantat meliuk liuk bak ular kobra dari india dari kejauhan terlihat pak ketu berusaha keras menaklukkan tanjakan ngehe. Om agung dan om cueng sudah menunggu di atas siap menjepret kami yg masih di bawah.
 Trek berlumpur
Setelah tanjakan ngehe kembali kami lewati kebun teh yg berlanjut masuk ke hutan lebat. Di tengah lebat dan gelapnya hutan, saya sama pak ketu berhenti sebentar sambil mengatur nafas dan mendinginkan bokong yg semakin terasa panas. Terdengar suara berciutan dari atas pohon, kami perhatikan sejenak rupanya pohon di depan kami dijadikan sarang monyet. Berloncatan ke sana kemari entah ngasi semangat ke kami untuk lanjut gowes atau sebaliknya mau mengusir. Meminjam istilah pak ketu dari pada diperkosa monyet di tengah hutan, tanpa menunggu lebih lama segera kami lanjutkan perjalanan. Selanjutnya kami memasuki wilayah Desa Sukamaju , dari sini bisa dibilang tinggal menggelinding turun hingga menggiring kami tiba kembali ke gadog setelah sempat makan siang di sebuah tikungan.
Mengatur nafas
 
 
Monyet masih banyak di seputar puncak
 

Rute RA (rindu alam) Classic
Sungguh sebuah perjalanan yg berkesan, ditambah kepuasan menikmati salah satu lintasan gowes paling cantik di seputar jawa barat. 
 

Ganti Aliran

Membaca judul di atas mungkin langsung menggiring pikiran kita membayangkan aliran ilmu sesat dan sejenisnya. Namun di sini kita tidak akan membahas hal hal semacam itu. Seperti cabang cabang olah raga yg lain, olah raga sepeda juga mengenal beberapa jenis aliran. Beberapa yg bisa disebut sepanjang pengetahuan saya antara lain Freeride, Dirtjump, Onroad, maupun MTB alias sepeda gunung. Tiap aliran tentu saja menggunakan jenis sepeda yg berbeda sesuai dengan peruntukannya. Satu jenis aliran tentu saja tidak cocok menggunakan jenis sepeda dari aliran yg lain. Untuk MTB sendiri, ada tiga jenis sepeda yg bisa digolongkan ke dalamnya yakni XC alias Cross Country, AM alias All Mountain, serta DH alias Down Hill. Yang membedakan adalah trek yg dilalui. Untuk jenis sepeda XC diperuntukkan untuk jalur pedesaan hingga jalur offroad ringan seperti jalan makadam dan sejenisnya. Di sini umumnya menggunakan jenis sepeda hardtail atau sepeda dengan hanya satu suspensi /fork di bagian depan. Yang diutamakan dari sepeda ini adalah bobot yg ringan untuk menambah efisiensi dan kecepatan namun cukup nyaman untuk ditunggangi. Jenis sepeda ini bisa saja digunakan di jalur full offroad atau offroad berat namun akan sangat tidak nyaman buat penunggannya terutama ketidaknyamanan di bagian bokong dan sekitarnya. Berikutnya adalah jenis AM dimana menggunakan suspensi depan belakang alias full suspension. Jenis sepeda ini cocok digunakan di medan offroad berat dimana yg diutamakan adalah kenyamanan dan keselamatan penunggangnya. Namun tentu saja harus ada yg dikorbankan yakni bobot sepeda yg bertambah dengan penambahan suspensi belakang. Jenis sepeda AM bisa saja digunakan di jalur onroad ataupun XC namun akan menjadi kurang efisien akibat efek bobbing karena pemakaian suspensi double. Dengan semakin berkembangnya teknologi sepeda dewasa ini, kendala di bobot sepeda untuk AM bisa diminimalisir sekecil mungkin seperti penggunaan bahan carbon dan untuk mengurangi efek bobbing kedua suspensi bisa dikunci. Seperti istilah harga tak pernah bohong, demikian juga berlaku di dunia sepeda. Sepeda AM dengan bobot ringan menyerupai XC tentu berharga jauh lebih mahal dari sepeda AM biasa. Semua kembali berpulang kepada budjet masing-masing Dengan demikian batas antara sepeda XC dan AM semakin tipis, artinya sepeda AM pun cukup efisien dipakai di trek XC namun nyaman dipakai di jalur offroad sesuai habitat aslinya.

Yang terakhir adalah jenis sepeda Downhill. Sepeda ini diperuntukkan khusus untuk trek offroad downhill alias turunan curam yg ekstrem. Yang dibutuhkan dari trek ini adalah sepeda dengan frame yg kokoh dan kuat menahan benturan dengan travel fork depan yg panjang untuk meredam benturan yg keras. Bobot sepeda tidak menjadi prioritas di sini, yg penting kokoh dan kuat.

Saya sendiri awalnya sekitar tahun 2007 menggunakan sepeda jenis hardtail dengan rem jenis V-brake yakni United Avalanche. Waktu itu pengetahuan sepeda yg terbatas dengan budjet yg juga terbatas, yg penting bisa gowes akhirnya memutuskan saya memilih sepeda ini. Keputusan yg cukup tepat mengingat sebagian besar kegiatan bersepeda dalam rangka bike to work melalui jalan beraspal, hampir tidak pernah gowes offroad. Saat saya kembali kecanduan gowes tahun 2012 lalu dengan orientasi bisa gowes bareng teman teman di akhir pekan yg biasanya banyak melewati jalur offroad akhirnya saya putuskan membeli sepeda fullsus entry level yakni Alexius 1.0 yg berharga cukup murah untuk sebuah sepeda fullsus sekitar 7 jutaan saja. Tunggangan baru saya ini sangat nyaman saya pakai meskipun ada beberapa kekurangan yg saya rasakan sesuai harganya. Pertama yg jelas adalah beratnya yg lebih dari 15kg yg tentu saja memerlukan power yg lebih untuk menggowesnya yg secara tidak langsung melatih endurance saya. Yg kedua adalah bunyi-bunyian mirip suara tikus yg cukup sering muncul setiap habis diservis, mungkin akibat banyaknya linkage yg digunakan dengan kualitas yg masih kurang. Terakhir masalah yg saya alami adalah suspensi belakang yg tidak mau naik saat duduk di sadle alias reboundnya tidak berfungsi. Setelah cukup puas menikmati sepeda fullsus sekaligus melatih kekuatan dengkul, akhirnya kembali saya putuskan untuk ganti aliran ke hardtail. Namun kali ini hanya mengganti framenya saja dan beberapa part yg tidak cocok. Jadi groupset dan parts sepeda fullsus saya migrasikan ke frame hardtail. Sebuah frame hardtail merk Speciallized Rockhopper second saya dapatkan dengan harga 2.5jt. Cukup ringan untuk frame berbahan aluminium. Frame Alexius sendiri masih saya simpan untuk suatu saat rencana akan saya rakit kembali jika dana mencukupi. Pertimbangan ganti aliran kali ini yg utama karena jalur B2W saya hampir semuanya melalui jalan cor dan aspal. Belum lagi gowes akhir pekan juga banyak melewai on road dan XC ringan. Sangat terasa perbedaan antara fullsus dan hardtail. Contohnya waktu tempuh rumah ke tempat kerja bisa lebih cepat sekitar 8 menit dari biasanya. Perbedaan lain adalah saat di tanjakan, dengan hardtail menjadi lebih enteng nanjaknya. Buat anda yg hendak membeli sepeda, tentukan dulu tujuan bersepeda anda apakah mau sering bermain offroad atau banyak di jalan dan XC ringan. Selanjutnya sesuaikan dengan budjet. Jika budjet tidak terbatas bisa saja membeli sepeda fullsus ringan seringan hardtail yg nyaman dipakai di segala medan. Namun di atas semua itu, kekuatan dengkulah yg utama. It's not about the bike, it's about the man behind the bike. Satu lagi, dalam dunia pergowesan yg mahal itu bukanlah sepedanya, namu niat untuk bersepedalah yg lebih mahal. 
  
United Avalanche, tunggangan pertama 
Forward Alexius, Fulsus tunggangan berikutnya
Specialized hasil rakitan 

Kamis, 10 Oktober 2013

Semilir Angin di Bukit Cianten


Mimpi indah malam itu belum sepenuhnya berakhir saat saya harus terbangun oleh alarm yg disetel  menandai akan dimulainya salah satu petualangan paling berkesan sepanjang sejarah pergowesan Mentari69. Segera saya berkemas mempersiapkan segala sesuatunya sambil melihat pesan di Hp dari teman teman Mentari 69 lainnya. Hari itu sabtu 5 Oct 2013 kami anggota Mentari69 bersama team LG Ecekeble berencana menjelajah salah satu trek terkenal di kalangan goweser yakni trek Cianten di daerah Leuwi Liang Bogor. Seperti biasa setiap akan menjelajah trek yg baru (belum pernah dijelajahi), rasa penasaran senantiasa muncul tak tertahankan untuk ingin segera melahap dan merasakan sensasi bersepeda di alam liar. Tak terkecuali hari itu. Kali ini sepeda kami loading di mobil pick up Om wawan yg ditemani oleh saya sedang teman teman yg lain ikut mobil Om agung. Di pagi buta itu kami sudah meluncur menuju bogor tepatnya di desa Cianten daerah Leuwi Liang Bogor tempat kami unloading melewati tol Jagorawi. Peserta Mentari69 yg ikut gowes kali ini, Om Bagas Pak Ketua, Om Agung sang penasehat trek, Om Wawan, Om Edi, Om Gatot, dan saya sendiri. Cukup jarang kami anggota Mentari69 bisa gowes bareng sebanyak ini, biasanya paling banter hanya 3 sampai 4 orang saja dengan berbagai macam dalih dan alasan mulai ternak teri (mengantar anak dan istri) hingga tugas Negara maupun SIM(surat ijin menggowes) yg tidak kunjung datang hingga detik-detik akhir. Untuk team Ecekeble sendiri ada 14 orang yg sudah biasa gowes bareng dengan kami. Tepat jam 08.30 kami tiba di Unit PLTA Kracak, tanpa menunggu lama segera menurunkan sepeda dari pick up untuk selanjutnya berganti angkot yg sudah dipesenin Om romi Ecekeble menuju titik start di warung mang Ujang. Perjalanan menuju warung mang ujang melewati jalanan berasal rusak dan menanjak yg cukup menyiksa  kami yg menumpanginya sejauh kurang legih 22km cukup sensasional untuk latihan dengkul andai ditempuh dengan menggowes. Begitu sampai di warung mang ujang, segera kami merakit kembali sepeda setelah unloading dari angkot. Beberapa teman yg tidak sempat sarapan segera menyerbu warung untuk loading bahan bakar buat tubuh agar siap melahap trek seharian sekaligus membawa sebungkus nasi yg disediakan temen temen Ecekeble berhubung dari info yg di dapat, tidak ada lagi warung sepanjang trek yg akan dilewati yg terbukti tidak sepenuhnya benar. Angin pagi berhembus dengan kesegaran khas pegunungan terasa sejuk di badan seakan menyapa selamat datang untuk kami membuat kami semakin tidak sabar untuk segera meluncur. Berdoa sejenak, tidak menunggu lama perlahan kami mulai menggenjot sepeda masing masing. Perjalanan diawali dengan jalan makadam hanya dua ratusan meter sebelum belok kanan masuk singel trek favorit setiap goweser. Canda tawa dan wajah wajah happy langsung terlihat begitu memasuki sebuah bukit perkebunan teh menghijau dihiasi pohon pohon peneduh. Alaamak indahnya, pikir saya dalam hati, yg pasti juga dirasakan temen temen yg lain. Sebuah goresan alam menakjubkan langsung terbentang di depan kami begitu kami melewati single trek tersebut. Inilah salah satu momen yg paling kami tunggu, menemukan untaian panorama surga yg kami dapatkan saat bersepeda di jalur offroad. Tanpa komando terlebih dahulu dan sudah jadi tradisi wajib, acara narsis berfoto ria segera jadi kegiatan selanjutnya dengan mengabaikan waktu perjalanan.
View di titik start

Foto keluarga sebelum start
Warung mang Ujang

Single track yg eksotis
                 
Dengan posisi warung mang ujang yg harus dicapai angkot lewat pendakian panjang, bisa dipastikan trek kali ini akan banyak diwarnai turunan sekaligus mengurangi aroma nge-race dan saling ledek teman teman Ecekeble yg biasanya jadi tradisi di trek tanjakan. Dan memang demikianlah kenyataannya. Sepeda meluncur di single trek dihiasi pemandangan indah di kiri kanan, sungguh suatu hiburan impian setiap goweser. Single trek ini sekitar 4km sebelum berakhir di jalan makadam yg sepertinya lanjutan jalan awal kami memulai. Jalan makadam inipun masih melewati perkebunan teh yg merupakan bagian dari perkebunan PTP bukit Cianten. Hanya beberapa kilometer kami tempuh, selanjutnya kami tiba di sebuah gubuk peristirahatan untuk regrouping kembali. Pak ketua kami Mentari69 om Bagas tampak sumringah meskipun sambil menahan sesak napas, akibat jarang gowes barangkali, tetapi tetap tampak sangat menikmati seolah menemukan mainan baru.
Melaju di bukit Cianten 
Dari gubuk ini, kami lanjutkan perjalanan kembali melewati jalan yg dicor sebelum melewati turunan tajam berbentuk mangkuk. Sedikit ngeri melewatinya, apalagi denger-denger pernah ada yg jatuh di turunan ini. Sepeda segera melaju dengan sangat kencang sebelum ditahan tanjakan diujungnya. Dari sini kembali disuguhi perkebunan teh dari ujung ke ujung untuk selanjutnya berbelok ke kiri memasuki single trek kembali. Menurut keterangan penduduk sekitar, jika kita meneruskan jalan beton ini akan tembus ke pantai pelabuhan ratu. Area ini bisa dibilang salah satu maskot perjalanan kami hari itu dengan latar belakang gunung menjulang di kejauhan membuat kami kompak foto keluarga, sangat sayang kalau dilewatkan. Berbagai pose dan gaya tidak kalah dengan foto model di catwalk diperagakan teman-teman, tidak ketinggalan foto keluarga khusus Mentari69. 
Melaju di turunan mangkuk 
 Foto Keluarga
 Puas bernarsis ria, perjalan kami lanjutkan memasuki turunan demi turunan namun tetap harus berhati-hati dan waspada tingkat tinggi berhubung jauh dan curamnya turunan dan di sisi kiri sepanjang turunan terdapat jurang tertutup semak dan hutan. Bisa dibilang ini salah satu gowes ter happy, terkompak, dan paling berkesan. Happy karena trek yg dilewati didominasi turunan, membuat semua wajah temen-temen tidak ada yg terlihat susah, namun sebaliknya senyum mengembang sepanjang jalan. Kompak karena peserta yg cukup banyak dan tidak ada nge-race alias lomba-lombaan. Paling berkesan tentu saja, dengan begitu banyaknya sajian alam mempesona. Terlebih saat kami lewati jembatan kecil tempat menyebrangi sungai kecil berair jernih saat kami tiba di ujung turunan panjang, sungguh sulit untuk dilukiskan. Kita yg terbiasa dengan pemandangan daerah urban atau perkotaan sangat jarang bisa menikmati sajian alam seperti ini, apalagi tempat seperti ini hampir tidak mungkin dijangkau dengan kendaraan bermotor, yg menjadi sisi lain keunggulan bersepeda selain hemat BBM tentunya serta menguji daya tahan tubuh maupun nyali. Cukup lama kami nikmati dan kagumi kehijauan alam anugerah yg di Atas, memuaskan mata sepuas-puasnya. Kalau bisa dibiliang, inilah salah satu trek paling komplit dan sangat kami rekomendasikan dengan begitu banyaknya single trek yg paling menjadi incaran goweser offroad. Sangat cocok untuk goweser nyubi alias pemula, maupun yg sudah senior. Melihat sungai dengan air jernih tepat sekitar jam 12.00 siang memaksa kami memutuskan makan siang di sini, sepertinya ini yg paling cocok tempatnya. Banyaknya batu besar di tengah sungai sangat cocok untuk nongkrong sambil makan. Tak berapa lama, segera kami berpencar mencari lokasi paling pas untuk makan sambil melihat air nan jernih dan pemandangan nun jauh di sana ditimpali sepoi-sepoi semilir angin bukit Cianten. Rasanya bekal nasi bungkus yg kami bawa menjadi makanan yg paling enak sedunia akhirat. Ayam dan sayur toge serta sambal menjadi menu makan siang kali ini. Sambil tetap dengan canda dan senda gurau khas goweser ditambah nasi bungkus yg maknyuss enaknya, tidak lama waktu yg dibutuhkan untuk melahap habis, bahkan terasa masih kurang. Selanjutnya adalah waktunya berendam, tidak tahan melihat air jernih seperti ini, jarang sekali menemukan sungai dengan air jernih, apalagi di Cikarang, hampir mustahil menemukannya kecuali di kolam renang. Segera kami nyemplung ke sungai menenggelamkan kepala, sungguh terasa segerr, seolah mengurangi sebagian besar beban hidup sehari-hari, hanyut terbawa air sungai hingga jauh.
Kesegaran Sungai Cianten 
Dengan berjalannya waktu kami harus menyudahi acara mandi bersama, melanjutkan single trek dan mulai memasuki Desa Muara Dua Kec. Pamijahan. Dari sini hujan deras mulai turun mengiringi perjalanan kami selanjutnya. Berhubung trek masih banyak turunan membuat dengkul jarang menggenjot pedal dengan cepat menurunkan suhu badan hingga membuat kami kedinginan. Mulai dari sini hingga finish perjalanan dilalui keluar masuk kampung. Desa selanjutnya adalah Desa Purwabakti dan Desa Ciasmara yg sebagian besar jalan beraspal. Lalu berikutnya masuk ke Desa Ciasihin dan Desa Cipta Kasih, sepertinya nama-nama desa ini lekat dengan dunia asmara dan cinta. Sekitar 20km perjalanan kami tiba di sebuah danau buatan yg merupakan sumber air untuk turbin PLTA Kracak tempat kami parkir mobil, dari sini air dialirkan melalui sebuat pipa besi berdiameter 1 meteran. Dengan demikian perjalanan kami lanjutkan mengikuti pipa tersebut yg di beberapa titik terlihat di permukaan termasuk di salah satu jembatan. Disini pemandangan sore tidak kalah cantiknya sebagai penghibur badan yg kedinginan. Salah satunya saat kami melewati turunan dengan permukaan berumput yg sangat curam hingga memaksa kami TTB alias tuntun bike di turunan, mengalahkan nyali kami.
 Menjelang Finish 
Di ujung turunan tampak pepohonan hijau menghiasi di kiri kanan jalan berjajar dengan rapi. Tidak berapa lama, akhirnya kami tiba juga di PLTA Kracak Kec. Leuwi Liang tempat kami parkir mobil sekaligus membilas tubuh yg basah kuyup bercampur keringat. Semilir angin di bukit Cianten sudah berlalu, namun memori tentang sebuah perjalanan yg penuh kesan akan tetap menjadi sebuah kenangan yg tak mungkin terlupakan.

Trek Cianten