Selasa, 09 September 2014

Keelokan Gunung Parang


Tidak perlu jauh jauh untuk menikmati panorama alam spektakuler bahkan yang sekelas taman Yosemite di Amerika sekalipun. Hal ini kami buktikan sendiri saat melihat langsung salah satu keajaiban alam Indonesia di Gunung Parang , Purwakarta. Tempatnyapun cukup dekat dari Jakarta tidak lebih dari 100km. Seperti biasanya, untuk menikmati semua itu, kami pilih dengan bersepeda, sebuah pilihan yg menurut kami paling rasional di antara pilihan yg lain untuk lebih dekat dan menyatu dengan alam cantik yg akan banyak menghibur kami dengan keelokannya sepanjang jalan.
Tgl 23 Aug 2014 pagi bergegas kami menuju titik start rute Gunung Parang tepatnya di pasar bersih Citeko, Plered setelah melewati tol Cipularang dan keluar di Ciganea. Peserta kali ini gabungan antara team LG ecekeble dan team Mentari69, total 19 orang. Tepat pukul 9 pagi, kami mulai perjalanan dengan mengambil rute jalan desa Citalang ke arah barat. Tidak sampai 300m belok ke kanan memasuki sebuah gang beraspal, namun tidak lama setelahnya mulai memasuki jalan macadam yg merupakan awal dari tanjakan panjang dan terjal. Tanjakan terjal dan berliku terus berlangsung hingga 2 kilometeran, cukup membuat beberapa peserta rontok dan harus menggiring sepedanya tanpa ditunggangi sekaligus harus merelakan diri menjadi obyek foto rekan-rekan yg lebih dulu tiba di atas dan bersiap-siap dijadikan bahan bully membully di group WA J sesuatu yg terbukti menimpa rekan kami Om Hendri dan Om Wawan. Pepohonan hijau di kiri kanan jalan cukup menghibur peserta yg berjuang menaklukkan tanjakan. Rute ini sudah memasuki Desa /dusun Kamoyanan dengan jalanan yg teduh, diselingi lebatnya pohon bamboo yg menjadi vegetasi dominan hingga terik matahari yg mulai meninggi tidak begitu terasa.

Memasuki Desa Pamoyanan
Aroma khas batang pohon, ranting, daun, dan tanah menyergap hidung seketika menaikkan adrenalin, satu alasan kenapa kami selalu ketagihan untuk kembali mengulang petualangan bersepeda di alam bebas, menjajal trek-trek baru, tak ada kata bosan. Sepanjang diberi umur panjang dan rejeki oleh-Nya, petualangan seperti ini akan selalu kami nantikan.
Selanjutnya setelah diselingi beberapa kali re-grouping, rute mengarah ke kiri melipir punggung perbukitan yg masih menanjak namun terus menyajikan pemandangan bukit menghijau di sisi kanan dan area persawahan habis panen di sisi kiri, hingga tembus ke jalan tempat penambangan batu alam di Desa Tegalwaru. Di sini, teriknya matahari semakin terasa kejam dengan sedikitnya pepohonan dan banyaknya debu dari area penambangan batu alam. Keringat sebesar besar biji jagung menetes deras dari kepala, akibat disirami terik matahari dan panasnya udara, tak kami hiraukan sedikitpun dan bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Menuju Penambangan Batu Alam
Rute selanjutnya melewati persawahan habis dipanen namun terus menanjak, sangat menguras tenaga. Peserta kembali berceceran terseleksi oleh kekerasan dengkul masing-masing.  Kontur jalan yg ekstrem dengan variasi tanjakan dan turunan seperti lambaian pita, kami ditantang mengatur konsentrasi bersepeda tingkat tinggi namun tetap dengan tatapan memandang lepas ke depan agar dapat menyimak setiap sudut keindahan sepanjang rute yg dilalui. Rute mengarah ke kanan memasuki tanjakan yg lebih terjal lagi ke sebuah hutan teduh hingga kami sempatkan berhenti dan ambil foto, entah itu foto pemandangan ataupun foto teman-teman yg terseok-seok di belakang. Saking teduhnya hutan di kiri-kanan jalan sempat membuat saya sedikit mengantuk sambil menunggu teman-teman yg lain. Tanjakan panjang ini terbentang beberapa kilometer sebelum akhirnya memasuki turunan panjang yg melalui jalan utama Desa Sukamulya.  

Kebalikan dari tanjakan panjang sebelumnya, turunan yg sama panjangnya harus kami lewati dengan hati-hati. Sepeda dengan segera meluncur deras meski dihadang terpaan angin seolah terbang bebas, bebas melepas penat barang sesaat setelah seminggu penuh berkutat dengan berbagai macam masalah pekerjaan. Bebas dalam pengertian yg lebih luas bisa juga berarti merdeka, sesuatu yg belum lama kita peringati bersama yakni acara tujuh belasan dalam rangka Kemerdekaan RI yg ke 69. Meskipun kami tahu masih banyak rekan rekan yg belum merasakan arti kata “merdeka” karena prinsip kami ”jangan mengaku merdeka kalo istri/pacar masih melarang gowes“, sementara banyak temen temen kami yg kesulitan mendapat  ijin gowes dari istri/pacar masing-masing.
Puncak dari sajian alam yg merupakan klimaks perjalanan hari itu yg segera menyita perhatian kami sudah terlihat di depan sana yakni Gunung Parang. Begitu indah dilihat dari kejauhan. Tak salah kiranya saya menyebut alam Gunung Parang bagaikan sebuah kepingan surga dunia. Sedikit speechless saya menggambarkan pemandangan alam yg terpampang saat menyaksikan Gunung Parang.  Gunung yg berupa batu andesit yg menjulang tinggi hingga 900 meter-an di atas permukaan laut, seperti sebuah monumen alami, begitu gagah dan seolah menantang setiap pengunjungnya untuk mengeksplorasi bagian-bagian eksotismenya. Sangat rekomen untuk dijadikan destinasi bagi para penggemar wisata petualangan alam, terlebih adanya di Indonesia, sambil mengenal lebih jauh alam negeri tercinta. Ada banyak hal yg bisa ditawarkan oleh Gunung Parang. Bukan hanya sekedar trek sepeda ataupun hijaunya perbukitan di lerengnya, namun tersedia juga arena panjat tebing bagi penggemar olahraga panjat ataupun tempat kuliner pemuas selera makan di kompleks Badega Gunung Parang. Turunan panjang ini akhirnya berakhir juga di kompleks Badega Gunung Parang, sebuah tempat untuk memulai panjat tebing ataupun hiking menjelajahi hutan sekitar Gunung Parang. Terdapat beberapa gazebo /pondok dari bamboo tempat melepas lelah sambil menelentangkan badan. Angin gunung semilir berhembus mengundang kantuk di mata cepat datang, sambil menyeruput kelapa muda yg baru dipetik dari pohonnya. Tak lama kemudian, sajian makan siang dengan menu ikan mas gorang + tempe, tahu + sambal terasi pedas ditemani lalapan sayur mentah, dihidangkan di atas nampan bambu. Cara makannya pun dengan “ngariung”, satu nampan untuk 4 hingga 5 orang, sungguh nikmat dan menggugah selera, sambil tetap bercanda dan saling ledek tentunya. Tak ingat lagi entah kapan terakhir menyantap makanan senikmat ini. Tak lama waktu yg dibutuhkan untuk menghabiskan makanan di tiap nampan hingga perut terasa kekenyangan. Setelahnya banyak peserta yg tertidur dengan cepat sehabis makan termasuk saya sendiri, rasanya sangat malas untuk melanjutkan perjalanan.
 
Tetapi waktu yg semakin sore mengharuskan kami untuk segera beranjak, kembali menggenjot sepeda masing-masing menuntaskan rute berikutnya. Tepat jam 14.30 kami mulai berangkat masih dilanjutkan dengan turunan sebelumnya, namun hanya beberapa ratus meter saja. Selanjutnya kembali melewati jalanan macadam dengan arah memutari Gunung Parang dari sisi yg berlawanan, namun dengan kerikil dan bebatuan yg lebih besar ditambah rolling-rolling naik turun namun kebanyakan naiknya, membutuhkan handling sepeda yg lebih baik lagi. Memasuki pertengahan Desa Cisarua, kami dibelokkan ke kiri oleh RC (road captain) Om Andre yg memandu rute perjalanan dari awal ke sebuah single track dengan tanjakan paling terjal sepanjang perjalanan. Di saat tenaga mulai menurun, tanjakan terasa lebih menyiksa. Bahkan Om Hendri terkena kram kaki, dimulai kaki kanan menular ke kaki kiri hingga tak sanggup lagi bahkan hanya untuk menuntun sepeda. Dengan kebaikan om Okky tawon yg membantu menuntun sepedanya, perlahan kami susuri tanjakan di depan dengan TTB berjamaah. Tanjakan yg seolah memberi kami pelajaran tentang bagaimana melewati rintangan dan masalah dalam hidup sehari-hari, semakin memicu detak jantung.
Hidangan makan siang
 Foto Keluarga
Karena arahnya memutar, rute ini kembali menuju rute awal setelah pertambangan batu alam tempat truk-truk besar mangkal. Begitu ketemu dengan rute awal, bisa dipastikan berlanjut dengan turunan panjang yg langsung memotong hingga kembali ke tempat loading sepeda.
Semburat rona jingga di ufuk barat perlahan memudar seiring satu persatu peserta mulai menuruni lereng Gunung Parang kembali menuju Plered. Sementara di kejauhan, puncak Gunung Parang terlihat semakin mengecil, saat kami mulai menjauhinya, meninggalkan banyak kenangan yg rasanya sulit untuk dilupakan.
 Etape1
 Etape2
Etape3