Senin, 18 Agustus 2014

Ganasnya Tanjakan Karangkobar


Setelah cukup puas memanaskan dengkul dengan bersepeda seputaran Tapen dan Banjarnegara semenjak tiba dari perjalanan mudik Lebaran di kampong halaman istri tgl 25 Juli 2014 lalu, gowes yang lebih serius saya rencanakan, bertiga dengan Om Gunpar dan Om Hendri yg asli Banjarnegara. Namun berhubung Om Gunpar berhalangan, jadilah saya sendirian menjalaninya. Tgl 2 Agustus 2014 pagi sekitar jam 06.00, saya mulai mengayuh tunggangan kesayangan, perlahan menyusuri jalan Tapen-Wanadadi sepanjang waduk mrican dengan airnya yang tenang. Udara terasa sangat dingin menusuk tulang berhembus menemani perjalanan saya pagi itu. Kayuhan saya percepat untuk membuat badan lebih cepat hangat mengusir dinginnya udara. Tepat dipertigaan Wanadadi, saya belokkan sepeda kea rah Desa Bondolharjo. Matahari mulai mengintip di balik perbukitan, alangkah cantiknya saat semburat sinarnya mulai memancar ke arah lembah dengan hamparan sawah yang menghijau. Kombinasi keemasan sinar mentari dengan hijaunya warna sawah adalah perpaduan sempurna lukisan alam nan indah, sangat menyejukkan. Saya berhenti sesaat untuk mengabadikan sajian alam tersebut.
 Pagi di Desa Bondolharjo
Tidak butuh waktu lama bagi saya, tanjakan yg sudah saya perkirakan langsung terbentang di depan saat perjalanan baru menempuh sekitar 4 km saja. Inti perjalanan hari itu yang berupa tanjakan-tanjakan tiada henti baru saja dimulai. Desa Bobdolharjo adalah awal dari trek tanjakan hari itu. Dengan kemiringan lebih dari 45 derajat, tanjakan demi tanjakan mehadang saya seolah tidak ada habisnya. Jarak sekitar 4 km harus saya tempuh untuk menyelesaikan tanjakan sesi pertama ini dari Desa Bondolharjo hingga pertengahan wilayah Desa Tanjungtirta yg merupakan titik tertinggi desa tersebut. Dari catatan Endomondo, total ketinggian dari titik terendah di Wanadadi hingga titik tertinggi ini adalah sekitar 900an meter.  Nafas memburu dan tersengal-sengal adalah kondisi umum yang terjadi saat saya berusaha melibas satu demi satu setiap kelokan yg merupakan awal dan akhir dari setiap tanjakan sekaligus awal dari tanjakan berikutnya.  Saat nafas sepertinya mau habis, sedikit kelegaan timbul begitu melihat turunan di depan yang mengarah ke sebuah kali yakni kali kacangan. Saat tiba di pinggir kali, daerah ini sudah termasuk wilayah Desa Mlaya. Gemericik aliran sungai dengan airnya yang sangat bening seolah sebuah bonus untuk tanjakan sesi pertama tadi. Udara yang begitu sejuk dan menyegarkan, menambah daya tampung paru-paru saat saya menarik nafas dalam-dalam mengatur irama jantung. Tidak lama waktu yg diberikan, tanjakan berikut yg lebih terjal siap menunggu. Arah selanjutnya menuju Desa Sipedang, yg hampir keseluruhan jalannya berupa kemiringan. Kembali harus berkutat dengan tanjakan yg panjang berliku, membuat dengkul terasa mulai senut senut. Penduduk desa berlalu lalang dengan sepeda motor yg menjadi andalan transportasi di daerah ini, beberapa terlihat keheranan melihat saya dengan tunggangan sepeda. Sepanjang jalan pepohonan salak silih beraganti dengan pohon peneduh yg menghijau alami menyediakan udara segar kaya oksigen. Tetapi jalan berliku ini terasa semakin berat untuk didaki, semakin menguras stamina. Andaikan mental saya kurang teguh, ingin rasanya menuntun sepeda, seperti menuntun seekor kambing yang hendak disembelih.
 Tanjakan Desa Tanjungtirta

 Panorama Desa Tanjungtirta

Menaklukkan tanjakan bukan hanya perkara  tenaga dan nafas, namun lebih dari itu adalah mental tangguh yg lebih diperlukan. Saat melihat tanjakan meliuk-liuk di depan, biasanya langsung meruntuhkan mental seorang goweser yg sudah disiapkan masak-masak sebelumnya. Setelah bersusah payah mendaki berhasil juga saya melewati Desa Sipedang yg diakhiri turunan panjang nenuju Desa Sigeblog. Kembali mental saya diuji saat harus melewati pendakian berikutnya sepanjang Desa Sigeblog yg benar benar menguras sisa tenaga yg ada. Pendakian ini berlanjut menuju Desa Majatengah, seperti berlanjutnya sajian pemandangan indah sepanjang perjalanan. Puncaknya adalah daerah Majatengah, dengan sawah berundak mengapit sebuah sungai berkelok kelok dengan airnya yg jernih dengan latar belakang sebuah gunung yg gagah menjulang dipenuhi pepohonan lebat sungguh menakjubkan. Sebuah potensi wisata yg belum banyak terekspos, menyimpan sisi sisi eksotis nya yg sangat sayang untuk dilewatkan.
 Panorama sekitar Desa Tanjungtirta dan Desa Mlaya
Puas mata memandang semuanya, kembali perjalanan saya lanjutkan untuk selali lagi menaklukkan sebuah tanjakan terakhir menuju Karangkobar yg merupakan bagian dari rangkaian dataran tinggi Dieng. Ada banyak jalur yg bisa disusuri di seputaran Dieng dengan banyak pemandangan spektakuler yg sambung menyambung hingga ke utara yg menuju daerah Pekalongan. Dari Karangkobar menuju Kota Banjarnegara selanjutnya adalah bonus turunan panjang berkejaran dengan motor yg baru turun dari Dieng. Sepeda saya arahkan menuju alun alun untuk menikmati sate Kambing Pak Waji, terasa nikmat mengganjal perut yg keroncongan.
 Tanjakan mengular di Desa Sigeblog

 Panorama di Desa Majatengah 
 Tema gowes kali ini adalah “tanjakan dan tanjakan lagi”. Untuk teman-teman goweser pencinta tanjakan, Banjarnegara adalah surganya. Ke dan dari arah manapun kita melangkah, tidak akan lepas dari tanjakan yg setia setiap saat mendampingi perjalana kita. Hal ini tak lepas dari letak geographis Kabupaten Banjarnegara yg diapit oleh banyak pegunungan di ke-empat sisinya. Satu lagi jalur yang membuat saya penasaran adalah arah ke Desa Sijenggung menuju utara hingga tembus ke Kalibening yang melewati jalan Pekalongan-Banjarnegara. Konon kabarnya panorama alam siap membius kita sepanjang jalan. Semoga bisa menyusurinya di waktu yang akan datang.
Etape 1 
Etape 2