Setelah cukup puas memanaskan dengkul dengan bersepeda
seputaran Tapen dan Banjarnegara semenjak tiba dari perjalanan mudik Lebaran di
kampong halaman istri tgl 25 Juli 2014 lalu, gowes yang lebih serius saya
rencanakan, bertiga dengan Om Gunpar dan Om Hendri yg asli Banjarnegara. Namun
berhubung Om Gunpar berhalangan, jadilah saya sendirian menjalaninya. Tgl 2
Agustus 2014 pagi sekitar jam 06.00, saya mulai mengayuh tunggangan kesayangan,
perlahan menyusuri jalan Tapen-Wanadadi sepanjang waduk mrican dengan airnya
yang tenang. Udara terasa sangat dingin menusuk tulang berhembus menemani
perjalanan saya pagi itu. Kayuhan saya percepat untuk membuat badan lebih cepat
hangat mengusir dinginnya udara. Tepat dipertigaan Wanadadi, saya belokkan
sepeda kea rah Desa Bondolharjo. Matahari mulai mengintip di balik perbukitan,
alangkah cantiknya saat semburat sinarnya mulai memancar ke arah lembah dengan
hamparan sawah yang menghijau. Kombinasi keemasan sinar mentari dengan hijaunya
warna sawah adalah perpaduan sempurna lukisan alam nan indah, sangat
menyejukkan. Saya berhenti sesaat untuk mengabadikan sajian alam tersebut.
Pagi di Desa Bondolharjo
Tidak butuh waktu lama bagi saya, tanjakan yg sudah saya
perkirakan langsung terbentang di depan saat perjalanan baru menempuh sekitar 4
km saja. Inti perjalanan hari itu yang berupa tanjakan-tanjakan tiada henti
baru saja dimulai. Desa Bobdolharjo adalah awal dari trek tanjakan hari itu.
Dengan kemiringan lebih dari 45 derajat, tanjakan demi tanjakan mehadang saya
seolah tidak ada habisnya. Jarak sekitar 4 km harus saya tempuh untuk
menyelesaikan tanjakan sesi pertama ini dari Desa Bondolharjo hingga
pertengahan wilayah Desa Tanjungtirta yg merupakan titik tertinggi desa
tersebut. Dari catatan Endomondo, total ketinggian dari titik terendah di
Wanadadi hingga titik tertinggi ini adalah sekitar 900an meter. Nafas memburu dan tersengal-sengal adalah kondisi
umum yang terjadi saat saya berusaha melibas satu demi satu setiap kelokan yg
merupakan awal dan akhir dari setiap tanjakan sekaligus awal dari tanjakan
berikutnya. Saat nafas sepertinya mau
habis, sedikit kelegaan timbul begitu melihat turunan di depan yang mengarah ke
sebuah kali yakni kali kacangan. Saat tiba di pinggir kali, daerah ini sudah
termasuk wilayah Desa Mlaya. Gemericik aliran sungai dengan airnya yang sangat
bening seolah sebuah bonus untuk tanjakan sesi pertama tadi. Udara yang begitu
sejuk dan menyegarkan, menambah daya tampung paru-paru saat saya menarik nafas
dalam-dalam mengatur irama jantung. Tidak lama waktu yg diberikan, tanjakan berikut yg lebih terjal siap
menunggu. Arah selanjutnya menuju Desa Sipedang, yg hampir keseluruhan jalannya
berupa kemiringan. Kembali harus berkutat dengan tanjakan yg panjang berliku,
membuat dengkul terasa mulai senut senut. Penduduk desa berlalu lalang dengan
sepeda motor yg menjadi andalan transportasi di daerah ini, beberapa terlihat
keheranan melihat saya dengan tunggangan sepeda. Sepanjang jalan pepohonan
salak silih beraganti dengan pohon peneduh yg menghijau alami menyediakan udara
segar kaya oksigen. Tetapi jalan berliku ini terasa semakin berat untuk didaki,
semakin menguras stamina. Andaikan mental saya kurang teguh, ingin
rasanya menuntun sepeda, seperti menuntun seekor kambing yang hendak
disembelih.
Tanjakan Desa Tanjungtirta
Panorama Desa Tanjungtirta
Menaklukkan tanjakan bukan hanya perkara tenaga dan nafas, namun lebih dari itu adalah
mental tangguh yg lebih diperlukan. Saat melihat tanjakan meliuk-liuk di depan,
biasanya langsung meruntuhkan mental seorang goweser yg sudah disiapkan
masak-masak sebelumnya.
Setelah bersusah payah mendaki berhasil juga saya melewati Desa Sipedang yg
diakhiri turunan panjang nenuju Desa Sigeblog. Kembali mental saya diuji saat
harus melewati pendakian berikutnya sepanjang Desa Sigeblog yg benar benar
menguras sisa tenaga yg ada. Pendakian ini berlanjut menuju Desa Majatengah,
seperti berlanjutnya sajian pemandangan indah sepanjang perjalanan. Puncaknya
adalah daerah Majatengah, dengan sawah berundak mengapit sebuah sungai berkelok
kelok dengan airnya yg jernih dengan latar belakang sebuah gunung yg gagah
menjulang dipenuhi pepohonan lebat sungguh menakjubkan. Sebuah potensi wisata
yg belum banyak terekspos, menyimpan sisi sisi eksotis nya yg sangat sayang
untuk dilewatkan.
Panorama sekitar Desa Tanjungtirta dan Desa Mlaya
Puas mata memandang semuanya, kembali perjalanan saya
lanjutkan untuk selali lagi menaklukkan sebuah tanjakan terakhir menuju
Karangkobar yg merupakan bagian dari rangkaian dataran tinggi Dieng. Ada banyak
jalur yg bisa disusuri di seputaran Dieng dengan banyak pemandangan spektakuler
yg sambung menyambung hingga ke utara yg menuju daerah Pekalongan. Dari
Karangkobar menuju Kota Banjarnegara selanjutnya adalah bonus turunan panjang
berkejaran dengan motor yg baru turun dari Dieng. Sepeda saya arahkan menuju
alun alun untuk menikmati sate Kambing Pak Waji, terasa nikmat mengganjal perut
yg keroncongan.
Tanjakan mengular di Desa Sigeblog
Tema gowes kali ini adalah “tanjakan dan
tanjakan lagi”. Untuk teman-teman goweser pencinta tanjakan, Banjarnegara
adalah surganya. Ke dan dari arah manapun kita melangkah, tidak akan lepas dari
tanjakan yg setia setiap saat mendampingi perjalana kita. Hal ini tak lepas
dari letak geographis Kabupaten Banjarnegara yg diapit oleh banyak pegunungan
di ke-empat sisinya. Satu lagi jalur yang membuat saya penasaran adalah arah ke
Desa Sijenggung menuju utara hingga tembus ke Kalibening yang melewati jalan
Pekalongan-Banjarnegara. Konon
kabarnya panorama
alam siap membius kita sepanjang jalan. Semoga bisa menyusurinya di waktu yang
akan datang.
Etape 1
Etape 2




















