Kamis, 13 Februari 2014

Embun Pagi Situ Cisanti, Gowes Kolozal CMTB #12

Satu tahun bisa berarti singkat bagi sebagian orang, namun bisa jadi sebaliknya, tergantung dari sisi mana kita melihatnya, semua akan terasa relative, seperti teori relativitas nya Einstein yg terkenal itu.  Untuk orang orang seperti kami para penikmat alam bebas dengan sepeda, menunggu satu tahun sebuah event petualangan bersepeda di trek yg sama sekali belum pernah dijajal sebelumnya dengan jaminan aroma khas kejutan ala para master track builder Cikarang MTB tentulah terasa lama. Namun selama apapun itu, sebuah penantian sudah pasti ada ujungnya. Penantian yg dimaksud akhirnya tiba juga dengan kembali digelarnya perhelatan akbar gowes kolozal Cikarang MTB, yg kali ini menginjak edisi ke 12.  Banyak hal yg harus disiapkan demi suksesnya mengikuti hajatan ini, tentu saja RRI yg utama di atas yg lainnya. Hal ini terlihat dari kepesertaan teman teman Mentari69 yg hanya terkumpul 6 orang dari sekitar 15an orang anggota menggambarkan seperti apa susahnya mendapat sebuah “RRI”. Om Agung, Om Ijo, Om Gatot, Om Abdul, Om Hendrik dan saya sendiri, ditambah Om Syaiful rekan kerja saya. Seperti pepatah the show must go on, meskipun banyak anggota yg berhalangan, tidak mengurangi semangat tempur kami menjelajah salah satu trek tertinggi sepanjang sejarah pergowesan Mentari69, sifat alami dari para weekend warrior. Dari bocoran tentang trek dan kondisi sekitarnya dari Om agung, di mana akan lebih banyak berkutat dengan suhu dingin, harus ada persiapan yg cukup untuk menghadapinya seperti raincoat, windbreaker, hingga baju kering untuk ganti. Namun di sisi lain, peta trek yg mempunyai titik start dan finish yg sama ini menjanjikan pemandangan alam indah, salah satu yg melatarbelakangi niat kuat kami mengikuti gelaran ini. Seperti tahun tahun sebelumnya, event ini juga diikuti lebih dari 100an peserta, terbayang bagaimana riuhnya suasana gowes. Panitia sejak jauh-jauh hari sudah disibukkan oleh persiapan acara untuk sekian banyak orang mulai dari pencarian trek hingga akomodasi. Para goweser diangkut dengan dua unit Bus sementara sepeda masuk ke dalam 4 unit Truk.
Hari H yg ditunggu akhirnya tiba juga. Sabtu 8 Feb 2014, masih dengan menahan kantuk akibat harus sudah terbangun jam 03.00 dinihari, satu persatu para goweser sudah mulai berdatangan di AA Bike Cikarang Baru sebagai titik keberangkatan Bus. Udara dingin tidak terasa berhubung kami harus berjalan kaki dari rumah sehingga sedikit menghangatkan tubuh sekaligus pemansan dan latihan awal yg terbukti berguna saat menjajal trek nanti sekaligus menambah semangat para goweser yg terlihat dari canda ria dan wajah penuh senyuman di pagi buta itu. Tepat pukul 04.30 pagi, bus mulai bergerak menuju Bandung. Sekitar 5 jam perjalanan tibalah kami di titik start jalur gowes sekitar pukul 9.30 .
Mukadimah penjelajahan kali ini diawali dari sebuah jalan di samping pemakaman Meneer Bosscha. Sekilas mengenai kediaman Meneer Bosscha yg tak bisa dilepaskan dari riwayat perkebunan teh Malabar yg cukup mahsyur di Jawa Barat, sebuah permadani hijau yang kini dimiliki PT Perkebunan Nusantara. Sejarahnya tak bisa dilepaskan dari jasa besar seorang (KAR Bosscha) saat menjadi pemimpin perkebunan Malabar sejak 1896 hingga tutup usia pada 1928. Hal ini tertuang di sebuah prasasti di depan makam beliau.
Titik start yg berada di ketinggian 1,531 meter di atas permukaan laut membuat keniscayaan rasa dingin tak mampu untuk dihindarkan memaksa kami mempersiapkan senjata penangkal untuk menghadapinya seperti windbreaker ataupun jas hujan plus obat tolak angina bagiyg gampang masuk angin. Melihat pemandangan sekitar dengan pepohonan diantara kebun teh yg begitu indah, naluri narsis dan update status memaksa banyak orang mulai bergaya seperti biasanya, berharap jurus terbaik menghasilkan status terbaik pula, entah itu di BB, FB, ataupun WA dan media social lainnya.
 Pemandangan sekitar makam Boscha
Pemakaman Boscha 
Awal gowes
Kabut tipis masih menggelayut di pagi menjelang siang itu seolah enggan meninggalkan peraduannya, saat suasana canda tawa dan dinginnya semilir angin perkebunan teh malabar berganti suara gemeretak bunyi rantai sepeda beradu dengan RD dan FD menandai dimulainya pergerakan para goweser memasuki Etape 1 jalur Kolozal #12 setelah sebelumnya pengarahan dari panitia dan doa sebelum memulai perjalanan.
Pengarahan sebelum berangkat
Di kejauhan mendung gelap segera berkejaran begitu kami mulai bergerak beriringan di sebuat single trek di tengah kebun teh pertanda gowes kali ini benar-benar bertajuk “gowes basah”. Seperti yg sudah-sudah, trek racikan panitia yg sarat medan offroad berat kembali tersaji kali ini. Tidak lama melewati single trek sudah dihadang tanjakan sempit memaksa jurus TTB alias menuntun sepeda segera dikeluarkan dengan kompak. Pemanasan sudah mulai dari sini, nafas sudah mulai memburu karena kalori menuntun sepeda akanlebih banyak dibutuhkan dibanding menggowes nya.  Mendung tebal di awal perjalanan perlahan berubah wujud menjadi rintik-rintik hujan siap menemani kami sepanjang perjalanan. Mulai dari titik awal hingga etape satu ini, pemandangan nan elok tak henti-hentinya menyapa sepanjang jalan, membius setiap pasang mata kami, menyentuh sisi sisi paling dalam nurani kekaguman akan sebuah sajian alam nan mempesona. Untaian perbukitan yg sambung menyambung bak permadani alami seakan semakin menegaskan kesempurnaan salah satu ciptaanyaNya, bagai pusaka kehidupan alam tiada duanya, hening, menghanyutkan, dan penuh kedamaian.
 Pemandangan indah sepanjang jalan
Single trek pertama ini berakhir di sebuah jalan yg lebih lebar masih di tengah perkebunan teh. Sepanjang jalan di kiri-kanan berjajar pepohonan pelindung. Dari sini berlanjut mengikuti sebuah pipa gas alam terbungkus aluminium dengan diameter hampir satu meter yg terasa hangat saat dipegang. Cukup lama kami menyusuri tepian pipa ini sebelum berakhir di sebuah turunan curam, membuat banyak goweser turun dari sepeda dan lebih nyaman untuk menuntunnya tanpa peduli harga diri lagi. Di bawah turunan ini mengarah ke sebuah tempat pengolahan gas alam, bau menyengat tercium di sekitar area ini, namun tak kurang banyaknya goweser menyempatkan diri berfoto-foto. Berlanjut ke sebuah perkampungan, kami sempatkan mampir ke sebuah warung sambil menunggu rekan yg lain. Dari sini hujan turun semakin deras menambah dinginnya udara yg menusuk ke tulang.
 Hujan mengguyur sepanjang jalan
Perjalanan kami lanjutkan dengan tanjakan tajam single trek yg seketika berubah menjadi sungai kecil akibat derasnya hujan, tak satupun dari goweser yg terlihat mampu melewatinya tanpa TTB. Tanjakan ini diselingi turunan yg tidak kalah tajamnya berakhir di sebuah pinggiran hutan yg harus kami lewati. Antrian panjang terlihat begitu tiba di pinggiran hutan, awalnya terbersit pertanyaan kenapa untuk memasuki hutan saja kok antri begitu lama. Begitu mendekat baru terjawab sudah pertanyaan tadi. Jangankan untuk menggowes, untuk berjalan saja susahnya minta ampun dengan tebalnya lumpur di tanah, membuat kaki terpeleset berkali-kali. Kamipun harus bekerjasama untuk memindahkan sepeda melewati pinggiran hutan. Begitu masuk hutan, rintangan lain menghadang, tanjakan curam berlumpur mengharuskan kami berjalan sambil merangkak dengan satu tangan menggotong sepeda sementara tangan yg lain berpegangan di kayu ataupun semak-semak. Inilah salah satu rintangan terberat sepanjang perjalanan yg sangat menguras tenaga, membuat nafas ngos-ngosan di ketinggian dengan kadar oksigen yg dibawah normal. Dua lobang hidung yg tersedia seakan masih kurang untuk mensupply kebutuhan oksigen bagi setiap sel darah.
 Dihajar tanjakan sadiss
Lepas dari hadangan tadi, kembali kami memasuki single trek lainnya yg berlanjut kembali ke perkebunan teh yg lain. Di sini jalan lebih lebar, namun tak kalah sulitnya untuk dilewati akibat air hujan yg mengubah jalan seperti sungai. Single trek ini berakhir ke sebuah jalan aspal menurun yg menuju situ Cisanti sebagai tempat maksi alias makan siang. Dalam kondisi udara yg begitu dingin, jalan aspal menurun memberikan satu bentuk siksaan lainnya. Dengan sedikit tenaga untuk menggowes, suhu tubuh menurun drastis dengan cepatnya, seakan menusuk tulang hingga ke sumsumnya apalagi saat kami tiba di tempat peristirahatan dimana tidak ada energy yg dikeluarkan, dinginnya udara semakin menyiksa. Keadaan demikian bisa saja setiap saat merobek-robek niat kuat kami untuk bertahan yg sudah ditancap dalam-dalam sedari awal sebelum berangkat. Dan memang terbukti dengan beberapa peserta yg tidak kuat menahan itu semua dan harus dievakuasi panitia dengan mobil yg sudah disediakan. Trek ini seperti buah simalakama, saat menurun siap disiksa dinginnya suhu, saat menanjak tenaga yg dikuras habis-habisan. Entah lebih baik milih yg mana. Ada satu insiden kecil saat teman saya Om Syaiful harus menerima kenyataan dengan patahnya salah satu screw seatpost yg mengharuskan sadel nya dipasang terbalik membuat perjalanan sangat tidak nyaman. Namun dengan semangat pantang menyerah, semua itu bisa dilewatinya, terlebih dengan banyaknya acara TTB dan GGB (gotong-gotong baik), sadel yg abnormal bukanlah suatu masalah besar. Nasi kotak dengan lauk ayam goreng plus lalapan dan ditemani sejumput sambal bisa jadi salah satu makanan terlezat yg pernah kami santap. Dalam sekejap saja sudah tandas tak bersisa, menggambarkan kombinasi lapar dan lezatnya menu makan siang. Udara semakin terasa dingin, segera kami berganti baju sepeda cadangan yg masih kering, setidaknya menghambat laju dinginnya suhu tubuh.
 Teamwork mengatasi beratnya medan
Tak tahan berdiam lama, segera kami lanjutkan perjalanan memasuki etape 2. Berharap jalur yg dihidangkan di etape 2 ini lebih manusiawi, namun harapan tinggalah harapan. Yang tersaji justru sebaliknya. Hanya dua km an saja melewati jalan macadam, tanjakan sadis single trek berlumpur di tengah hutan kembali menghadang kami. Kali ini jauh lebih berat dan panjang, tak kurang 4 km kondisi trek demikian harus dilewati. Tidak ada jeda barang sedikitpun waktu untuk menggowes, tenaga habis untuk menuntun dan mendorong sepeda. Di sinilah fisik dan mental diuji sampai ke level yg membuat badan semakin mmenggigil kedinginan ditambah kondisi cuaca yg memperbaiki tingkat kesulitan trek ke level yang lebih tinggi. Kondisi lebatnya semak dan pepohonan saat jarak antar goweser saling berjauhan di tengah derasnya hujan membuat sedikit ciut nyali, pikiran tentang macan kumbang yg bisa saja muncul tiba-tiba, terlintas begitu saja. Seorang goweser di belakang saya mempercepat jalannya mengikuti saya, mungkin tidak jauh beda dengan apa yg saya pikirkan. Salut untuk panitia alias tim ruzuh yg telah bersusah payah menyajikan trek menantang seperti ini. Spesial dan baru serta khas imajinasi para trek builder CMTB.
 Etape dua tak kalah beratnya
Setelah tertatih-tatih selama sekitar satu jam, akhirnya tiba juga kami di sebuah tempat pengolahan gas alam yg lain yg merupakan titik tertinggi dari keseluruhan lintasan (sekitar 1840 mdpl) . Di sini kami berteduh sebentar di sebuah pos satpam, namun hujan yg semakin deras dan dingin membuat kami ingin segera cepat-cepat sampai kembali ke titik start. Dari sini yg dianggap sebagai etape 3 jalanan yg kami lalui sudah terbilang mudah, hanya mengikuti jalan aspal menurun melewati perkampungan sekitar Pangalengan. Tantangan tinggal menahan hawa dingin saat merosot turun. Tiga puluh menit berikutnya sampailah kami kembali ke titik awal, kali ini langsung menuju ke sebuah Villa tempat kami membersihkan badan dan beres-beres. Sehabis mandi dan cuci-cuci, hidangan makan malam sudah menunggu dengan menu yg tidak kalah lezatnya. Tepat jam 07.00 malam, satu persatu kembali ke bus yg sudah menunggu, bersiap-siap pulang meninggalkan salah satu trek paling berkesan dengan begitu banyak kenangan bersepeda di alam bebas. Sampai jumpa di kolozal berikutnya, tentunya dengan trek yg lebih menarik lagi.
peta perjalanan