Hari H yg ditunggu akhirnya tiba juga. Sabtu 8 Feb 2014, masih dengan menahan kantuk akibat harus sudah terbangun jam 03.00 dinihari, satu persatu para goweser sudah mulai berdatangan di AA Bike Cikarang Baru sebagai titik keberangkatan Bus. Udara dingin tidak terasa berhubung kami harus berjalan kaki dari rumah sehingga sedikit menghangatkan tubuh sekaligus pemansan dan latihan awal yg terbukti berguna saat menjajal trek nanti sekaligus menambah semangat para goweser yg terlihat dari canda ria dan wajah penuh senyuman di pagi buta itu. Tepat pukul 04.30 pagi, bus mulai bergerak menuju Bandung. Sekitar 5 jam perjalanan tibalah kami di titik start jalur gowes sekitar pukul 9.30 .
Mukadimah penjelajahan kali ini diawali dari sebuah jalan di samping pemakaman Meneer Bosscha. Sekilas mengenai kediaman Meneer Bosscha yg tak bisa dilepaskan dari riwayat perkebunan teh Malabar yg cukup mahsyur di Jawa Barat, sebuah permadani hijau yang kini dimiliki PT Perkebunan Nusantara. Sejarahnya tak bisa dilepaskan dari jasa besar seorang (KAR Bosscha) saat menjadi pemimpin perkebunan Malabar sejak 1896 hingga tutup usia pada 1928. Hal ini tertuang di sebuah prasasti di depan makam beliau.
Titik start yg berada di ketinggian 1,531 meter di atas permukaan laut membuat keniscayaan rasa dingin tak mampu untuk dihindarkan memaksa kami mempersiapkan senjata penangkal untuk menghadapinya seperti windbreaker ataupun jas hujan plus obat tolak angina bagiyg gampang masuk angin. Melihat pemandangan sekitar dengan pepohonan diantara kebun teh yg begitu indah, naluri narsis dan update status memaksa banyak orang mulai bergaya seperti biasanya, berharap jurus terbaik menghasilkan status terbaik pula, entah itu di BB, FB, ataupun WA dan media social lainnya.
Pemandangan sekitar makam Boscha
Awal gowes
Kabut tipis masih menggelayut di pagi menjelang siang
itu seolah enggan meninggalkan peraduannya, saat suasana canda tawa dan
dinginnya semilir angin perkebunan teh malabar berganti suara gemeretak bunyi
rantai sepeda beradu dengan RD dan FD menandai dimulainya pergerakan para
goweser memasuki Etape 1 jalur Kolozal #12 setelah sebelumnya pengarahan dari
panitia dan doa sebelum memulai perjalanan.
Di kejauhan mendung gelap segera berkejaran begitu
kami mulai bergerak beriringan di sebuat single trek di tengah kebun teh
pertanda gowes kali ini benar-benar bertajuk “gowes basah”. Seperti yg
sudah-sudah, trek racikan panitia yg sarat medan offroad berat kembali tersaji
kali ini. Tidak lama melewati single trek sudah dihadang tanjakan sempit
memaksa jurus TTB alias menuntun sepeda segera dikeluarkan dengan kompak.
Pemanasan sudah mulai dari sini, nafas sudah mulai memburu karena kalori
menuntun sepeda akanlebih banyak dibutuhkan dibanding menggowes nya. Mendung tebal di awal perjalanan perlahan
berubah wujud menjadi rintik-rintik hujan siap menemani kami sepanjang
perjalanan. Mulai dari titik awal hingga etape satu ini, pemandangan nan elok
tak henti-hentinya menyapa sepanjang jalan, membius setiap pasang mata kami,
menyentuh sisi sisi paling dalam nurani kekaguman akan sebuah sajian alam nan
mempesona. Untaian perbukitan yg sambung menyambung bak permadani alami seakan
semakin menegaskan kesempurnaan salah satu ciptaanyaNya, bagai pusaka kehidupan
alam tiada duanya, hening, menghanyutkan, dan penuh kedamaian.
Pemandangan indah sepanjang jalan
Single trek pertama ini berakhir di sebuah jalan yg
lebih lebar masih di tengah perkebunan teh. Sepanjang jalan di kiri-kanan
berjajar pepohonan pelindung. Dari sini berlanjut mengikuti sebuah pipa gas
alam terbungkus aluminium dengan diameter hampir satu meter yg terasa hangat
saat dipegang. Cukup lama kami menyusuri tepian pipa ini sebelum berakhir di
sebuah turunan curam, membuat banyak goweser turun dari sepeda dan lebih nyaman
untuk menuntunnya tanpa peduli harga diri lagi. Di bawah turunan ini mengarah
ke sebuah tempat pengolahan gas alam, bau menyengat tercium di sekitar area
ini, namun tak kurang banyaknya goweser menyempatkan diri berfoto-foto. Berlanjut
ke sebuah perkampungan, kami sempatkan mampir ke sebuah warung sambil menunggu
rekan yg lain. Dari sini hujan turun semakin deras menambah dinginnya udara yg
menusuk ke tulang.
Setelah tertatih-tatih selama sekitar satu jam, akhirnya tiba juga kami
di sebuah tempat pengolahan gas alam yg lain yg merupakan titik tertinggi dari
keseluruhan lintasan (sekitar 1840 mdpl) . Di sini kami berteduh sebentar di
sebuah pos satpam, namun hujan yg semakin deras dan dingin membuat kami ingin
segera cepat-cepat sampai kembali ke titik start. Dari sini yg dianggap sebagai
etape 3 jalanan yg kami lalui sudah terbilang mudah, hanya mengikuti jalan aspal
menurun melewati perkampungan sekitar Pangalengan. Tantangan tinggal menahan
hawa dingin saat merosot turun. Tiga puluh menit berikutnya sampailah kami
kembali ke titik awal, kali ini langsung menuju ke sebuah Villa tempat kami
membersihkan badan dan beres-beres. Sehabis mandi dan cuci-cuci, hidangan makan
malam sudah menunggu dengan menu yg tidak kalah lezatnya. Tepat jam 07.00
malam, satu persatu kembali ke bus yg sudah menunggu, bersiap-siap pulang meninggalkan
salah satu trek paling berkesan dengan begitu banyak kenangan bersepeda di alam
bebas. Sampai jumpa di kolozal berikutnya, tentunya dengan trek yg lebih
menarik lagi.
Hujan mengguyur sepanjang jalan
Perjalanan kami lanjutkan dengan tanjakan tajam single trek
yg seketika berubah menjadi sungai kecil akibat derasnya hujan, tak satupun
dari goweser yg terlihat mampu melewatinya tanpa TTB. Tanjakan ini diselingi
turunan yg tidak kalah tajamnya berakhir di sebuah pinggiran hutan yg harus
kami lewati. Antrian panjang terlihat begitu tiba di pinggiran hutan, awalnya
terbersit pertanyaan kenapa untuk memasuki hutan saja kok antri begitu lama.
Begitu mendekat baru terjawab sudah pertanyaan tadi. Jangankan untuk menggowes,
untuk berjalan saja susahnya minta ampun dengan tebalnya lumpur di tanah, membuat
kaki terpeleset berkali-kali. Kamipun harus bekerjasama untuk memindahkan
sepeda melewati pinggiran hutan. Begitu masuk hutan, rintangan lain menghadang,
tanjakan curam berlumpur mengharuskan kami berjalan sambil merangkak dengan
satu tangan menggotong sepeda sementara tangan yg lain berpegangan di kayu
ataupun semak-semak. Inilah salah satu rintangan terberat sepanjang perjalanan
yg sangat menguras tenaga, membuat nafas ngos-ngosan di ketinggian dengan kadar
oksigen yg dibawah normal. Dua lobang hidung yg tersedia seakan masih kurang untuk
mensupply kebutuhan oksigen bagi setiap sel darah.
Dihajar tanjakan sadiss
Lepas dari hadangan tadi,
kembali kami memasuki single trek lainnya yg berlanjut kembali ke perkebunan
teh yg lain. Di sini jalan lebih lebar, namun tak kalah sulitnya untuk dilewati
akibat air hujan yg mengubah jalan seperti sungai. Single trek ini berakhir ke
sebuah jalan aspal menurun yg menuju situ Cisanti sebagai tempat maksi alias
makan siang. Dalam kondisi udara yg begitu dingin, jalan aspal menurun
memberikan satu bentuk siksaan lainnya. Dengan sedikit tenaga untuk menggowes,
suhu tubuh menurun drastis dengan cepatnya, seakan menusuk tulang hingga ke
sumsumnya apalagi saat kami tiba di tempat peristirahatan dimana tidak ada
energy yg dikeluarkan, dinginnya udara semakin menyiksa. Keadaan demikian bisa
saja setiap saat merobek-robek niat kuat kami untuk bertahan yg sudah ditancap dalam-dalam
sedari awal sebelum berangkat. Dan memang terbukti dengan beberapa peserta yg
tidak kuat menahan itu semua dan harus dievakuasi panitia dengan mobil yg sudah
disediakan. Trek ini seperti buah simalakama, saat menurun siap disiksa
dinginnya suhu, saat menanjak tenaga yg dikuras habis-habisan. Entah lebih baik
milih yg mana. Ada satu insiden kecil saat teman saya Om Syaiful harus menerima
kenyataan dengan patahnya salah satu screw seatpost yg mengharuskan sadel nya
dipasang terbalik membuat perjalanan sangat tidak nyaman. Namun dengan semangat
pantang menyerah, semua itu bisa dilewatinya, terlebih dengan banyaknya acara
TTB dan GGB (gotong-gotong baik), sadel yg abnormal bukanlah suatu masalah
besar. Nasi kotak dengan lauk ayam goreng plus lalapan dan ditemani sejumput
sambal bisa jadi salah satu makanan terlezat yg pernah kami santap. Dalam
sekejap saja sudah tandas tak bersisa, menggambarkan kombinasi lapar dan
lezatnya menu makan siang. Udara semakin terasa dingin, segera kami berganti
baju sepeda cadangan yg masih kering, setidaknya menghambat laju dinginnya suhu
tubuh.
Teamwork mengatasi beratnya medan
Tak tahan berdiam lama, segera kami lanjutkan perjalanan memasuki etape
2. Berharap jalur yg dihidangkan di etape 2 ini lebih manusiawi, namun harapan
tinggalah harapan. Yang tersaji justru sebaliknya. Hanya dua km an saja
melewati jalan macadam, tanjakan sadis single trek berlumpur di tengah hutan
kembali menghadang kami. Kali ini jauh lebih berat dan panjang, tak kurang 4 km
kondisi trek demikian harus dilewati. Tidak ada jeda barang sedikitpun waktu
untuk menggowes, tenaga habis untuk menuntun dan mendorong sepeda. Di sinilah fisik
dan mental diuji sampai ke level yg membuat badan semakin mmenggigil kedinginan
ditambah kondisi cuaca yg memperbaiki tingkat kesulitan trek ke level yang
lebih tinggi. Kondisi lebatnya semak dan pepohonan saat jarak antar
goweser saling berjauhan di tengah derasnya hujan membuat sedikit ciut nyali,
pikiran tentang macan kumbang yg bisa saja muncul tiba-tiba, terlintas begitu
saja. Seorang goweser di belakang saya mempercepat jalannya mengikuti saya,
mungkin tidak jauh beda dengan apa yg saya pikirkan. Salut untuk panitia alias
tim ruzuh yg telah bersusah payah menyajikan trek menantang seperti ini. Spesial
dan baru serta khas imajinasi para trek builder CMTB.
Etape dua tak kalah beratnya
peta perjalanan



















