Tak terasa tahun 2014 berlalu begitu saja seperti tahun-tahun
sebelumnya. Meskipun hanya sebuah penanda waktu yg dibuat manusia, tetap saja
pergantian tahun adalah momen yg mempengaruhi banyak orang, mulai dari
persiapan acara penyambutannya hingga membuat resolusi untuk tahun berikutnya.
Berbicara soal resolusi, saya teringat resolusi diri sendiri menjelang akhir
tahun 2013, yakni bersepeda ke tempat kerja atau b2w sebanyak minimal 100 kali.
Mungkin ini resolusi yg nggak penting-penting amat untuk diresolusikan atau
mungkin malah sebaliknya, tergantung cara kita memandangnya. Iseng-iseng saya
buka kembali riwayat bersepeda saya ke tempat kerja melalui aplikasi endomondo
yg rasanya tidak pernah absen saya hidupkan setiap kali saya bersepeda. Mudah
saja melacaknya di bagian statistic nya dengan melihat jarak dan rute yg
dilewati. Singkat cerita didapat angka 105 kali, yg artinya saya telah bisa
memenuhi resolusi yg saya tetapkan setahun lalu. Dari jumlah 245 hari kerja di
2014, sebanyak 105 hari diantaranya saya tempuh dengan bersepeda ke tempat
kerja. Ada peningkatan dari tahun sebelumnya yg sekitar 60an kali. Mungkin bagi
banyak orang resolusi seperti ini tidak ada yg istimewa /tidak begitu penting ataupun
tidak terlalu sulit untuk dicapai. Tetapi tidak bagi saya, setidaknya setelah saya
melanjutkan keisengan tadi dengan mencoba memberi arti di balik angka 105. Buat
saya angka 105 bisa berbicara banyak hal. Pertama kalau angka 105 ini saya
ganti menjadi 105 kali berangkat kerja dengan mobil seperti hari kerja yg lain
saat saya tidak bersepeda ke tempat kerja. Berikutnya adalah beberapa asumsi yg
berkaitan, misalkan konsumsi bbm untuk mobil per liternya 9 km jarak tempuh.
Dengan 105 kali ke tempat kerja dan 42 km jarak tempuh pulang pergi rumah ke
kantor didapat jarak 4,310 km atau dibutuhkan sekitar 479 liter bbm. Jika
pemerintah mengimport bbm dengan biaya Rp.8,500 per liternya, maka didapat
angka sekitar 4.1
juta rupiah. Artinya saya bisa mengurangi biaya import bbm pemerintah sebesar
4.1
juta rupiah dalam setahun. Pengurangan biaya lain yakni biaya tol yg sebesar
Rp.5,000 per hari atau Rp.525,000 untuk 105 hari. Kemudian ada pengurangan
biaya maintenance mobil yg jika diasumsikan sebesar Rp.100 per kilometer akan
didapat angka Rp.431,000. Inilah makna dibalik angka 105. Perhitungan di atas
tidak termasuk bersepeda ke tempat-tempat lainnya seperti ke warung, atm, pasar
dan lain-lain, karena jarak tempuh bersepeda saya selama 2014 yg tercatat di
endomondo sejauh sekitar
7000 km. Angka-angka ini mungkin terlalu kecil
dibandingkan total biaya yg harus dikeluarkan negara untuk mensubsidi bbm,
tetapi ini baru usaha dari satu orang saja, bagaimana jika dilakukan oleh
sepuluh juta orang saja dari sekian ratus juta penduduk Indonesia? Untuk
efisiensi biaya import bbm saja akan didapat angka 41 triliun
rupiah hanya dalam satu tahun, suatu jumlah yg amat dahsyat untuk melesatkan
Indonesia menuju negara yg efisien dan maju. Mengurangi import sebesar 41 triliun juga
berarti mengurangi pembelian dolar dengan nominal yg sama yg sudah pasti
berimbas pada kekuatan rupiah di mata dolar yg akhir-akhir ini semakin sering
terseok-seok. Hal ini bisa berarti ber-efek domino terhadap harga barang dan
ketahanan ekonomi nasional dengan efisiensi nasional yg ditimbulkan. Tindakan
yg terlihat kecil untuk orang per orang namun memberi dampak yg bisa jadi
dahsyat. Belum lagi biaya sosial lainnya yg bisa dikurangi,
seperti pangurangan kemacetan yg akan ber-efek ganda terhadap pengurangan
pemakaian bbm dari kendaraan, biaya kesehatan yg logikanya jauh berkurang
dengan tubuh yg lebih sehat, dan biaya-biaya sosial lainnya termasuk
berkurangnya polusi udara
yg tentu saja akan meningkatkan kualitas manusia yg dilahirkan.
Ada kebanggaan tersendiri bisa berkontribusi mengurangi biaya yg harus
dikeluarkan negara untuk import bbm sekaligus mengurangi kemacetan dan polusi
udara dari asap kendaraan bermotor yg kita kendarai meskipun ada sedikit
pengorbanan kenyamanan berkendara. Bagi saya menjadi pahlawan untuk negara
tidak harus ikut perang membela negara atau tidak melulu soal melakukan hal-hal
besar, tapi yg terpenting adalah tindakan nyata mengurangi beban negara,
sekecil apapun tindakan itu. Tidak korupsi /pungli, membuang sampah pada
tempatnya, mengurangi pemakaian listrik di rumah, mematikan kran air yg menyala,
menaati peraturan lalu lintas, taat membayar pajak, menjaga fasilitas umum, menanam pohon dan tidak
menebang pohon adalah contoh tindakan kecil nyata lainnya yg bisa
mengurangi beban negara. Daripada ribut-ribut memprotes kenaikan harga bbm atau
ribut-ribut tidak jelas seperti anggota DPR, lebih baik lakukan tindakan nyata
untuk negara sekarang juga, menjadi pahlawan tidak harus dikenal.
It's baik to bike....
Kamis, 08 Januari 2015
Selasa, 09 September 2014
Keelokan Gunung Parang
Tidak perlu jauh jauh untuk menikmati panorama alam
spektakuler bahkan yang sekelas taman Yosemite di Amerika sekalipun. Hal ini
kami buktikan sendiri saat melihat langsung salah satu keajaiban alam Indonesia
di Gunung Parang , Purwakarta. Tempatnyapun cukup dekat dari Jakarta tidak
lebih dari 100km. Seperti biasanya, untuk menikmati semua itu, kami pilih
dengan bersepeda, sebuah pilihan yg menurut kami paling rasional di antara
pilihan yg lain untuk lebih dekat dan menyatu dengan alam cantik yg akan banyak
menghibur kami dengan keelokannya sepanjang jalan.
Tgl 23 Aug 2014 pagi bergegas kami menuju titik start
rute Gunung Parang tepatnya di pasar bersih Citeko, Plered setelah melewati tol
Cipularang dan keluar di Ciganea. Peserta kali ini gabungan antara team LG
ecekeble dan team Mentari69, total 19 orang. Tepat pukul 9 pagi, kami mulai
perjalanan dengan mengambil rute jalan desa Citalang ke arah barat. Tidak
sampai 300m belok ke kanan memasuki sebuah gang beraspal, namun tidak lama setelahnya
mulai memasuki jalan macadam yg merupakan awal dari tanjakan panjang dan terjal.
Tanjakan terjal dan berliku terus berlangsung hingga 2 kilometeran, cukup
membuat beberapa peserta rontok dan harus menggiring sepedanya tanpa
ditunggangi sekaligus harus merelakan diri menjadi obyek foto rekan-rekan yg
lebih dulu tiba di atas dan bersiap-siap dijadikan bahan bully membully di
group WA J sesuatu yg terbukti menimpa rekan kami Om
Hendri dan Om Wawan. Pepohonan hijau di kiri kanan jalan cukup menghibur peserta
yg berjuang menaklukkan tanjakan. Rute ini sudah memasuki Desa /dusun Kamoyanan
dengan jalanan yg teduh, diselingi lebatnya pohon bamboo yg menjadi vegetasi
dominan hingga terik matahari yg mulai meninggi tidak begitu terasa.
Memasuki Desa Pamoyanan
Aroma khas batang pohon, ranting, daun, dan tanah
menyergap hidung seketika menaikkan adrenalin, satu alasan kenapa kami selalu
ketagihan untuk kembali mengulang petualangan bersepeda di alam bebas, menjajal
trek-trek baru, tak ada kata bosan. Sepanjang diberi umur panjang dan rejeki
oleh-Nya, petualangan seperti ini akan selalu kami nantikan.
Selanjutnya setelah diselingi beberapa kali
re-grouping, rute mengarah ke kiri melipir punggung perbukitan yg masih
menanjak namun terus menyajikan pemandangan bukit menghijau di sisi kanan dan
area persawahan habis panen di sisi kiri, hingga tembus ke jalan tempat
penambangan batu alam di Desa Tegalwaru. Di sini, teriknya matahari semakin
terasa kejam dengan sedikitnya pepohonan dan banyaknya debu dari area
penambangan batu alam. Keringat sebesar besar biji jagung menetes deras dari
kepala, akibat disirami terik matahari dan panasnya udara, tak kami hiraukan
sedikitpun dan bersiap untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Menuju Penambangan Batu Alam
Rute selanjutnya
melewati persawahan habis dipanen namun terus menanjak, sangat menguras tenaga.
Peserta kembali berceceran terseleksi oleh kekerasan dengkul masing-masing. Kontur jalan yg ekstrem dengan variasi
tanjakan dan turunan seperti lambaian pita, kami ditantang mengatur konsentrasi
bersepeda tingkat tinggi namun tetap dengan tatapan memandang lepas ke depan
agar dapat menyimak setiap sudut keindahan sepanjang rute yg dilalui. Rute
mengarah ke kanan memasuki tanjakan yg lebih terjal lagi ke sebuah hutan teduh
hingga kami sempatkan berhenti dan ambil foto, entah itu foto pemandangan
ataupun foto teman-teman yg terseok-seok di belakang. Saking teduhnya hutan di
kiri-kanan jalan sempat membuat saya sedikit mengantuk sambil menunggu
teman-teman yg lain. Tanjakan panjang ini terbentang beberapa kilometer sebelum
akhirnya memasuki turunan panjang yg melalui jalan utama Desa Sukamulya. Kebalikan dari tanjakan panjang sebelumnya, turunan yg sama panjangnya harus kami lewati dengan hati-hati. Sepeda dengan segera meluncur deras meski dihadang terpaan angin seolah terbang bebas, bebas melepas penat barang sesaat setelah seminggu penuh berkutat dengan berbagai macam masalah pekerjaan. Bebas dalam pengertian yg lebih luas bisa juga berarti merdeka, sesuatu yg belum lama kita peringati bersama yakni acara tujuh belasan dalam rangka Kemerdekaan RI yg ke 69. Meskipun kami tahu masih banyak rekan rekan yg belum merasakan arti kata “merdeka” karena prinsip kami ”jangan mengaku merdeka kalo istri/pacar masih melarang gowes“, sementara banyak temen temen kami yg kesulitan mendapat ijin gowes dari istri/pacar masing-masing.
Puncak dari sajian alam yg merupakan klimaks perjalanan hari itu yg segera menyita perhatian kami sudah terlihat di depan sana yakni Gunung Parang. Begitu indah dilihat dari kejauhan. Tak salah kiranya saya menyebut alam Gunung Parang bagaikan sebuah kepingan surga dunia. Sedikit speechless saya menggambarkan pemandangan alam yg terpampang saat menyaksikan Gunung Parang. Gunung yg berupa batu andesit yg menjulang tinggi hingga 900 meter-an di atas permukaan laut, seperti sebuah monumen alami, begitu gagah dan seolah menantang setiap pengunjungnya untuk mengeksplorasi bagian-bagian eksotismenya. Sangat rekomen untuk dijadikan destinasi bagi para penggemar wisata petualangan alam, terlebih adanya di Indonesia, sambil mengenal lebih jauh alam negeri tercinta. Ada banyak hal yg bisa ditawarkan oleh Gunung Parang. Bukan hanya sekedar trek sepeda ataupun hijaunya perbukitan di lerengnya, namun tersedia juga arena panjat tebing bagi penggemar olahraga panjat ataupun tempat kuliner pemuas selera makan di kompleks Badega Gunung Parang. Turunan panjang ini akhirnya berakhir juga di kompleks Badega Gunung Parang, sebuah tempat untuk memulai panjat tebing ataupun hiking menjelajahi hutan sekitar Gunung Parang. Terdapat beberapa gazebo /pondok dari bamboo tempat melepas lelah sambil menelentangkan badan. Angin gunung semilir berhembus mengundang kantuk di mata cepat datang, sambil menyeruput kelapa muda yg baru dipetik dari pohonnya. Tak lama kemudian, sajian makan siang dengan menu ikan mas gorang + tempe, tahu + sambal terasi pedas ditemani lalapan sayur mentah, dihidangkan di atas nampan bambu. Cara makannya pun dengan “ngariung”, satu nampan untuk 4 hingga 5 orang, sungguh nikmat dan menggugah selera, sambil tetap bercanda dan saling ledek tentunya. Tak ingat lagi entah kapan terakhir menyantap makanan senikmat ini. Tak lama waktu yg dibutuhkan untuk menghabiskan makanan di tiap nampan hingga perut terasa kekenyangan. Setelahnya banyak peserta yg tertidur dengan cepat sehabis makan termasuk saya sendiri, rasanya sangat malas untuk melanjutkan perjalanan.
Hidangan makan siang
Foto Keluarga
Karena arahnya memutar, rute ini kembali menuju rute
awal setelah pertambangan batu alam tempat truk-truk besar mangkal. Begitu
ketemu dengan rute awal, bisa dipastikan berlanjut dengan turunan panjang yg
langsung memotong hingga kembali ke tempat loading sepeda.
Semburat rona jingga di ufuk barat perlahan memudar seiring satu persatu
peserta mulai menuruni lereng Gunung Parang kembali menuju Plered. Sementara di
kejauhan, puncak Gunung Parang terlihat semakin mengecil, saat kami mulai
menjauhinya, meninggalkan banyak kenangan yg rasanya sulit untuk dilupakan.
Etape1
Etape2
Etape3
Senin, 18 Agustus 2014
Ganasnya Tanjakan Karangkobar
Setelah cukup puas memanaskan dengkul dengan bersepeda
seputaran Tapen dan Banjarnegara semenjak tiba dari perjalanan mudik Lebaran di
kampong halaman istri tgl 25 Juli 2014 lalu, gowes yang lebih serius saya
rencanakan, bertiga dengan Om Gunpar dan Om Hendri yg asli Banjarnegara. Namun
berhubung Om Gunpar berhalangan, jadilah saya sendirian menjalaninya. Tgl 2
Agustus 2014 pagi sekitar jam 06.00, saya mulai mengayuh tunggangan kesayangan,
perlahan menyusuri jalan Tapen-Wanadadi sepanjang waduk mrican dengan airnya
yang tenang. Udara terasa sangat dingin menusuk tulang berhembus menemani
perjalanan saya pagi itu. Kayuhan saya percepat untuk membuat badan lebih cepat
hangat mengusir dinginnya udara. Tepat dipertigaan Wanadadi, saya belokkan
sepeda kea rah Desa Bondolharjo. Matahari mulai mengintip di balik perbukitan,
alangkah cantiknya saat semburat sinarnya mulai memancar ke arah lembah dengan
hamparan sawah yang menghijau. Kombinasi keemasan sinar mentari dengan hijaunya
warna sawah adalah perpaduan sempurna lukisan alam nan indah, sangat
menyejukkan. Saya berhenti sesaat untuk mengabadikan sajian alam tersebut.
Pagi di Desa Bondolharjo
Tidak butuh waktu lama bagi saya, tanjakan yg sudah saya
perkirakan langsung terbentang di depan saat perjalanan baru menempuh sekitar 4
km saja. Inti perjalanan hari itu yang berupa tanjakan-tanjakan tiada henti
baru saja dimulai. Desa Bobdolharjo adalah awal dari trek tanjakan hari itu.
Dengan kemiringan lebih dari 45 derajat, tanjakan demi tanjakan mehadang saya
seolah tidak ada habisnya. Jarak sekitar 4 km harus saya tempuh untuk
menyelesaikan tanjakan sesi pertama ini dari Desa Bondolharjo hingga
pertengahan wilayah Desa Tanjungtirta yg merupakan titik tertinggi desa
tersebut. Dari catatan Endomondo, total ketinggian dari titik terendah di
Wanadadi hingga titik tertinggi ini adalah sekitar 900an meter. Nafas memburu dan tersengal-sengal adalah kondisi
umum yang terjadi saat saya berusaha melibas satu demi satu setiap kelokan yg
merupakan awal dan akhir dari setiap tanjakan sekaligus awal dari tanjakan
berikutnya. Saat nafas sepertinya mau
habis, sedikit kelegaan timbul begitu melihat turunan di depan yang mengarah ke
sebuah kali yakni kali kacangan. Saat tiba di pinggir kali, daerah ini sudah
termasuk wilayah Desa Mlaya. Gemericik aliran sungai dengan airnya yang sangat
bening seolah sebuah bonus untuk tanjakan sesi pertama tadi. Udara yang begitu
sejuk dan menyegarkan, menambah daya tampung paru-paru saat saya menarik nafas
dalam-dalam mengatur irama jantung. Tidak lama waktu yg diberikan, tanjakan berikut yg lebih terjal siap
menunggu. Arah selanjutnya menuju Desa Sipedang, yg hampir keseluruhan jalannya
berupa kemiringan. Kembali harus berkutat dengan tanjakan yg panjang berliku,
membuat dengkul terasa mulai senut senut. Penduduk desa berlalu lalang dengan
sepeda motor yg menjadi andalan transportasi di daerah ini, beberapa terlihat
keheranan melihat saya dengan tunggangan sepeda. Sepanjang jalan pepohonan
salak silih beraganti dengan pohon peneduh yg menghijau alami menyediakan udara
segar kaya oksigen. Tetapi jalan berliku ini terasa semakin berat untuk didaki,
semakin menguras stamina. Andaikan mental saya kurang teguh, ingin
rasanya menuntun sepeda, seperti menuntun seekor kambing yang hendak
disembelih.
Tanjakan Desa Tanjungtirta
Panorama Desa Tanjungtirta
Menaklukkan tanjakan bukan hanya perkara tenaga dan nafas, namun lebih dari itu adalah
mental tangguh yg lebih diperlukan. Saat melihat tanjakan meliuk-liuk di depan,
biasanya langsung meruntuhkan mental seorang goweser yg sudah disiapkan
masak-masak sebelumnya.
Setelah bersusah payah mendaki berhasil juga saya melewati Desa Sipedang yg
diakhiri turunan panjang nenuju Desa Sigeblog. Kembali mental saya diuji saat
harus melewati pendakian berikutnya sepanjang Desa Sigeblog yg benar benar
menguras sisa tenaga yg ada. Pendakian ini berlanjut menuju Desa Majatengah,
seperti berlanjutnya sajian pemandangan indah sepanjang perjalanan. Puncaknya
adalah daerah Majatengah, dengan sawah berundak mengapit sebuah sungai berkelok
kelok dengan airnya yg jernih dengan latar belakang sebuah gunung yg gagah
menjulang dipenuhi pepohonan lebat sungguh menakjubkan. Sebuah potensi wisata
yg belum banyak terekspos, menyimpan sisi sisi eksotis nya yg sangat sayang
untuk dilewatkan.
Panorama sekitar Desa Tanjungtirta dan Desa Mlaya
Puas mata memandang semuanya, kembali perjalanan saya
lanjutkan untuk selali lagi menaklukkan sebuah tanjakan terakhir menuju
Karangkobar yg merupakan bagian dari rangkaian dataran tinggi Dieng. Ada banyak
jalur yg bisa disusuri di seputaran Dieng dengan banyak pemandangan spektakuler
yg sambung menyambung hingga ke utara yg menuju daerah Pekalongan. Dari
Karangkobar menuju Kota Banjarnegara selanjutnya adalah bonus turunan panjang
berkejaran dengan motor yg baru turun dari Dieng. Sepeda saya arahkan menuju
alun alun untuk menikmati sate Kambing Pak Waji, terasa nikmat mengganjal perut
yg keroncongan.
Tanjakan mengular di Desa Sigeblog
Tema gowes kali ini adalah “tanjakan dan
tanjakan lagi”. Untuk teman-teman goweser pencinta tanjakan, Banjarnegara
adalah surganya. Ke dan dari arah manapun kita melangkah, tidak akan lepas dari
tanjakan yg setia setiap saat mendampingi perjalana kita. Hal ini tak lepas
dari letak geographis Kabupaten Banjarnegara yg diapit oleh banyak pegunungan
di ke-empat sisinya. Satu lagi jalur yang membuat saya penasaran adalah arah ke
Desa Sijenggung menuju utara hingga tembus ke Kalibening yang melewati jalan
Pekalongan-Banjarnegara. Konon
kabarnya panorama
alam siap membius kita sepanjang jalan. Semoga bisa menyusurinya di waktu yang
akan datang.
Etape 1
Etape 2
Langganan:
Komentar (Atom)
















































